Kembali
Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” Cuma Jadi Jargon Sekte Sesat
Kita layak curiga
dengan kalimat “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN dan AS-SUNNAH”. Yang mana kalimat ini selalu
digembar-gemborkan dalam setiap majelis kajian sekte Salafi-Wahabi dengan
tujuan untuk menyudutkan kaum muslimin. Seolah-olah kaum muslimin selain
penganut SALAFI-WAHABI sudah berpaling dan lari dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Padahal fakta yang sesungguhnya justru kaum Salafi-Wahabi sengaja
atau tidak sengaja cuma menjadikannya sekedar jargon keren mereka saja.
Berkaitan dengan
kecurigaan kita kepada Salafi-Wahabi dengan jargon tersebut,
ada komentar yang cukup mengejutkan dari Mas Ahmad Syahid, yaitu tentang
nash Al-Qur’an ayat ke 90 surat Al-Mu’minuun yang menerangkan dustanya
pengakuan rububiyyah kaum kafir-musyrik Quraisy yang oleh kaum
Salafi-Wahabi disebut Bertauhid Rububiyyah. Fakta ayat ini adalah
kesaksian Allah subhanahu wa ta’ala yang membantah anggapan
bahwa Kaum kafir-musyrik bertauhid rububiyyah.
Dengan sangat
meyakinkan Mas Ahmad Syahid berkata : “Syaikh anda Shaleh Fauzan
tidak mengambil utuh rangkaian ayat dalam surat Al-Mu’minuun dia hanya membahas ayat 84-89,
dan kenapa syaikh anda berhenti dan tidak melanjutkan pada ayat berikutnya …?” Ayat 90 coba perhatikan :
بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِالْحَقِّ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
yang artinya “Bahkan
Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka (kafir
Quraisy) benar-benar orang-orang yang berdusta”. Kenapa Syaikh
Shaleh Fauzan berhenti pada ayat 89….? Kenapa Syaikh Shaleh
Fauzan tidak menyebut ayat ke 90 pada surat yang sama ….?”
Silahkan baca komentar
Mas Syahid lebih lengkap :
Selain apa yang
diungkap oleh Mas Syahid tentang ketidak-jujuran seorang Syaikh
Salafi-Wahabi di atas, mari kita simak sebuah artikel menarik yang
berkaitan dengan jargon keren: “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN dan AS-SUNNAH” Selamat
mengikuti sajian artikel berikut ini….
“KEMBALI KEPADA
AL-QUR’AN DAN AS SUNNAH” ?
Golongan Salafi-Wahabi memiliki
motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan as Sunnah’. Mereka mengajak
umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya,
al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga siapa saja
yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran
Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya ?
Secara global, motto
‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ ini jelas tidak akan ditentang oleh
siapapun, bahkan semua umat harus
mengikutinya agar selamat. Namun mungkin banyak orang bertanya, mengapa
Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan
se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya ? Mengapa pula
paham Salafi-Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan as Sunnah
dianggap menyimpang bahkan divonis sesat ? Dan apakah para ulama
terdahulu di zamannya selain kedua ulama ini seolah tidak mengajak kepada hal
yang sama ?
Mari kita perhatikan
permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat jelas ‘sumber masalah’ yang
ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut. Mari kita cermati dengan
hati yang lapang dan objektif agar kita tidak terjerumus dalam
pola pikir satu arah yang hanya mau melihat dan mendengar hanya karena kita
sudah terlanjur ‘taqlid’ pada satu sumber informasi saja,
hingga akhirnya dengan angkuhnya kita membenarkan tanpa ada ‘perbandingan’ sedikitpun.
Karena dengan jalan ini, insyaAllah kita mendapatkan jawaban kebenaran
yang sesungguhnya, bukan ‘pembenaran’ yang menuruti
hawa nafsu semata.
*****
1
Prinsip “Kembali
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan
sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus
diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar
secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang
dalam memahami al-Qur’an & as-Sunnah sangat berbeda-beda. Maka
bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang
dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan
segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh
berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang
mengandalkan buku-buku ‘terjemah’ al-Qur’an atau Sunnah. Itulah kenapa
di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat !
Mengapa? Tentu
karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,
dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri
masing-masing. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan
yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis
sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan
pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan
perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus
Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang
lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab ‘Kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah’, mereka merasa benar dengan caranya
sendiri atau mengikuti seseorang yang memiliki konsep dengan jalan pikirannya
sendiri tanpa kesepakatan ulama terbanyak.
Pada kaum
Salafi-Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah itu pun banyak
terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri secara internal pun terjadi
perbedaan pemahaman terhadap dalil sehingga mereka akhirnya terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok yang
saling menyesatkan. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap
dalil-dalil tentang bid’ah.
*****
2
Al-Qur’an dan Sunnah
sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang
sangat mumpuni untuk melakukan
hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama
tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama
fiqih), ulama aqidah ahlus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama
tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka
menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci,
sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari.
Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam
al-Qur’an sebagai ‘ahludz-dzikr’, yang kemudian disampaikan kepada
umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai
sampai saat ini.
Adalah sebuah
keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara
‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ dilakukan tanpa merujuk pemahaman para
ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum
Salafi-Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi-Wahabi
sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan
mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya
sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah).
Hal ini seperti apa
yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama
yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di
antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Dan lebih parahnya lagi, dengan
rantai yang terputus jauh itu, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi-Wahabi pengikutnya
seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni,
padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk
langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti
tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka ? Dan bukankah para
murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi,
dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik
lisan maupun tulisan ?
Bijaksanakah Ibnu Taimiyah
dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara
dari abad ke abad itu tiba di
hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda
tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para
ulama salaf tersebut ? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga
keteledoran besar, bila tidak ingin disebut ‘kebodohan dan pembodohan’ !.
Jadi, kaum Salafi-Wahabi bukan cuma menggaungkan motto ‘Kembali kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah’ secara langsung, tetapi juga secara langsung
maupun tidak, menggaungkan motto ‘Kembali kepada pendapat para ulama
salaf’ dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin
menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang
yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
*****
3
Para ulama telah
menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan as-Sunnah di
dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah ‘hasil jadi’. Para
ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami
agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi
juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari
pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang sangat
mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti
yang dimiliki para ulama tersebut.
Boleh dibilang,
kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang
setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan
masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam & para
Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in yang tidak mungkin
terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu,
lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan,
keberkahan, dan lain sebagainya. Belum lagi jika kita membaca sejarah hidup
mereka yang penuh dengan keshalehan dan selalu hidup manjauhi dari segala
dorongan hawa nafsu.
Para ulama seakan-akan
telah menghidangkan ‘makanan siap saji’ yang siap disantap oleh umat tanpa
repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa
kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Inilah yang
disebut sebagai ulama ‘warasatul anbiya’. Saat kaum Salafi-Wahabi mengajak umat
untuk tidak menikmati hidangan para ulama, lalu mengalihkan mereka untuk
langsung merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dalih pemurnian agama
dari pencemaran ‘pendapat’ manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk
menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk
membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya dari awal untuk
menanam padi.
Seandainya tidak
demikian, berarti mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan
figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah ‘mencemarkan agama’, lalu
menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi-Wahabi beserta karya-karya
mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur’an dan
as-Sunnah dari mereka saja dengan slogan ‘pemurnian agama’. Inilah
kesombongan yang paling hebat yang tidak pernah dilakukan para ulama sebelumnya
!
Sesungguhnya, ‘pencemaran’
yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar
biasa untuk melindungi umat dari kesesatan. Sedangkan ‘pemurnian’ yang dilakukan
oleh kaum Salafi-Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran
terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh
kaum Salafi-Wahabi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah adalah saat mereka
mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan
as-Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka
vonis sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di
dalam al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
pernah menyatakannya di dalam Sunnah (Hadits)-nya.
*****
Dari uraian ini,
nyatalah bahwa orang yang ‘Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah’ itu belum
tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid
kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Alangkah ironisnya
bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang
al-Qur’an dan as-Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi-Wahabi sebagai kumpulan
pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum
Salafi-Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual)
dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an
dan as-Sunnah.
‘Kembali pada Al-Qur’an
& as-Sunnah’ ? Ya! Tapi bukan dalam ‘perspektif’ Salafi-Wahabi,
karena kami dari dulu sampai sekarang mengikuti para Ulama Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah!
Oleh: Dean Sasmita
Kesimpulan :
Kembali pada al-Qur’an
dan as-Sunnah yang sesungguhnya adalah dengan mengikuti ulama dari generasi ke
generasi yang secara berurutan mempunyai mata rantai sanad hingga kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, perlu
kita waspada agar tidak tertipu. Orang yang tertipu juga pede merasa benar,
tetapi banyak terjadi kerancuan dalam memahami al Qur’an dan as Sunnah. Baca
terus dalam blog ini semoga Allah membukakan pintu kefahaman kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar