Senin, 10 Maret 2014

8. KEMBALI KEPADA AL QUR’AN DAN AS SUNNAH VERSI SALAFI-WAHABI (1)

Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” Cuma Jadi Jargon Sekte Sesat
Kita layak curiga dengan kalimat “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN dan AS-SUNNAH”.  Yang mana kalimat ini selalu digembar-gemborkan dalam setiap majelis kajian sekte Salafi-Wahabi dengan tujuan untuk menyudutkan kaum muslimin.  Seolah-olah kaum muslimin selain penganut SALAFI-WAHABI sudah berpaling dan lari dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal fakta yang sesungguhnya justru kaum Salafi-Wahabi sengaja atau tidak sengaja cuma menjadikannya sekedar jargon keren mereka saja.
Berkaitan dengan kecurigaan kita kepada Salafi-Wahabi dengan jargon tersebut, ada komentar yang cukup mengejutkan dari Mas Ahmad Syahid, yaitu tentang nash Al-Qur’an ayat ke 90 surat Al-Mu’minuun  yang menerangkan dustanya pengakuan rububiyyah kaum kafir-musyrik Quraisy yang oleh kaum Salafi-Wahabi disebut Bertauhid Rububiyyah. Fakta ayat ini adalah kesaksian Allah subhanahu wa ta’ala yang membantah anggapan bahwa Kaum kafir-musyrik bertauhid rububiyyah.
Dengan sangat meyakinkan Mas Ahmad Syahid berkata :  “Syaikh anda Shaleh Fauzan tidak mengambil utuh rangkaian ayat dalam surat Al-Mu’minuun dia hanya membahas ayat 84-89, dan kenapa syaikh anda berhenti dan tidak melanjutkan pada ayat berikutnya …?” Ayat 90 coba perhatikan :
بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِالْحَقِّ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
yang artinya “Bahkan Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka (kafir Quraisy) benar-benar orang-orang yang berdusta”. Kenapa Syaikh Shaleh Fauzan berhenti pada ayat 89….? Kenapa Syaikh Shaleh Fauzan tidak menyebut ayat ke 90 pada surat yang sama ….?”
Silahkan baca komentar Mas Syahid lebih lengkap :
Selain apa yang diungkap oleh Mas Syahid tentang  ketidak-jujuran seorang Syaikh Salafi-Wahabi di atas, mari kita simak sebuah artikel menarik  yang berkaitan dengan jargon keren: “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN dan AS-SUNNAH” Selamat mengikuti sajian artikel berikut ini….
“KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN DAN AS SUNNAH” ?  
Golongan Salafi-Wahabi memiliki motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan as Sunnah’. Mereka mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya ?
Secara global, motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ ini jelas tidak akan ditentang oleh siapapun, bahkan semua umat harus mengikutinya agar selamat.   Namun mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya ? Mengapa pula paham Salafi-Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan as Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat ? Dan apakah para ulama terdahulu di zamannya selain kedua ulama ini seolah tidak mengajak kepada hal yang sama ?
Mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat jelas ‘sumber masalah’ yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut. Mari kita cermati dengan hati yang lapang dan objektif agar kita tidak terjerumus dalam pola pikir satu arah yang hanya mau melihat dan mendengar hanya karena kita sudah terlanjur ‘taqlid’ pada satu sumber informasi saja, hingga akhirnya dengan angkuhnya kita membenarkan tanpa ada ‘perbandingan’ sedikitpun. Karena dengan jalan ini, insyaAllah kita mendapatkan jawaban kebenaran yang sesungguhnya, bukan ‘pembenaran’ yang menuruti hawa nafsu semata.
*****
1
Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & as-Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku ‘terjemah’ al-Qur’an atau Sunnah. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat !
Mengapa? Tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,  dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri masing-masing. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’, mereka merasa benar dengan caranya sendiri atau mengikuti seseorang yang memiliki konsep dengan jalan pikirannya sendiri tanpa kesepakatan ulama terbanyak.
Pada kaum Salafi-Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri secara internal pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil sehingga mereka akhirnya terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok yang saling menyesatkan. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.

*****
2
Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah ahlus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai ‘ahludz-dzikr’, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini.
Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi-Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi-Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah).
Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Dan lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh itu, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi-Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka ? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan ?
Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut ? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut ‘kebodohan dan pembodohan’ !. Jadi, kaum Salafi-Wahabi bukan cuma menggaungkan motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah’ secara langsung, tetapi juga secara langsung maupun tidak, menggaungkan motto ‘Kembali kepada pendapat para ulama salaf’ dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
*****
3
Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan as-Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah ‘hasil jadi’. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut.
Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam & para Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Belum lagi jika kita membaca sejarah hidup mereka yang penuh dengan keshalehan dan selalu hidup manjauhi dari segala dorongan hawa nafsu.
Para ulama seakan-akan telah menghidangkan ‘makanan siap saji’ yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Inilah yang disebut sebagai ulama ‘warasatul anbiya’. Saat kaum Salafi-Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, lalu mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran ‘pendapat’ manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya dari awal untuk menanam padi.
Seandainya tidak demikian, berarti mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah ‘mencemarkan agama’, lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi-Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah dari mereka saja dengan slogan ‘pemurnian agama’. Inilah kesombongan yang paling hebat yang tidak pernah dilakukan para ulama sebelumnya !
Sesungguhnya, ‘pencemaran’ yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan.  Sedangkan ‘pemurnian’ yang dilakukan oleh kaum Salafi-Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi-Wahabi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (Hadits)-nya.
*****
Dari uraian ini, nyatalah bahwa orang yang ‘Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah’ itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Alangkah ironisnya bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur’an dan as-Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi-Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi-Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
‘Kembali pada Al-Qur’an & as-Sunnah’ ? Ya!  Tapi bukan dalam ‘perspektif’  Salafi-Wahabi, karena kami dari dulu sampai sekarang mengikuti para Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah!
Oleh: Dean Sasmita
Kesimpulan :

Kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah yang sesungguhnya adalah dengan mengikuti ulama dari generasi ke generasi yang secara berurutan mempunyai mata rantai sanad hingga kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, perlu kita waspada agar tidak tertipu. Orang yang tertipu juga pede merasa benar, tetapi banyak terjadi kerancuan dalam memahami al Qur’an dan as Sunnah. Baca terus dalam blog ini semoga Allah membukakan pintu kefahaman kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar