Kajian Ilmiyyah tentang Khawarij
Membantah
Abu Jauza: Najd Bukan Iraq? : Bantahan Bagi Salafy-wahaby
Artikel dibawah ini adalah bantahan balik J. Algar atas tulisan Abu al
Jauza “Najd Bukan ‘Iraq ?” yang membantah tulisan J.
Algar Sebelumnya “Analisis Hadits Tanduk Setan : Najd Bukan Iraq”
-Bicara Salafy-wahaby-
Ini
merupakan kelanjutan dari tulisan kami sebelumnya yang berjudul Analisis Hadits Tanduk Setan : Najd Bukan Iraq?.
Tulisan kami tersebut ternyata ditanggapi oleh salah satu situs salafy-wahaby dan kali ini kami
berusaha meluruskan bantahannya yang berkesan “tidak paham dengan tulisan orang
lain”. Sudah sewajarnya sebelum membantah tulisan orang lain kita hendaknya
memahami betul-betul tulisan yang ingin dibantah supaya tidak terjadi
pengulangan-pengulangan yang tidak perlu. kita akan lihat bersama tanggapan
orang tersebut tetapi sebelumnya kami akan memperjelas lagi hujjah atau dalil
kalau tempat yang dimaksud sebagai fitnah itu adalah Najd. Silakan perhatikan hadits-hadits
berikut
Hadits 1.
وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب
عن سالم بن عبدالله عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال وهو مستقبل المشرق ها إن
الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab
dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata dan Beliau menghadap kearah timur
“fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini,
dari arah munculnya tanduk setan” [Shahih
Muslim 4/2228 no 2905]
Hadits 2.
حدثنا عبد الله ثنا أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا عقبة
بن أبي الصهباء ثنا سالم عن عبد الله بن عمر قال صلى رسول الله صلى الله عليه و
سلم الفجر ثم سلم فاستقبل مطلع الشمس فقال ألا ان الفتنة ههنا ألا ان الفتنة ههنا
حيث يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang menceritakan kepada kami ayahku yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata
telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Abi Shahba’ yang berkata telah
menceritakan kepada kami Salim dari ‘Abdullah bin Umar yang berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengerjakan shalat fajar kemudian mengucapkan salam dan menghadap kearah matahari terbit seraya bersabda “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini dari arah
munculnya tanduk setan” [Musnad Ahmad 2/72 no 5410]
Hadits 3.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا وكيع عن عكرمة بن عمار عن
سالم عن ابن عمر قال خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم من بيت عائشة فقال رأس
الكفر من ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان يعني المشرق
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Waki’ dari Ikrimah bin ‘Ammar dari Salim dari Ibnu
Umar yang berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari pintu
rumah Aisyah dan berkata “sumber kekafiran datang dari sini dari arah munculnya
tanduk setan yaitu timur. [Shahih
Muslim 4/2228 no 2905]
Hadits 4.
حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن إسماعيل قال حدثني قيس عن عقبة بن
عمرو أبي مسعود قال أشار رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده نحو اليمن، فقال الإيمان
يمان هنا هنا، ألا إن القسوة وغلظ القلوب في الفدادين، عند أصول أذناب الإبل، حيث
يطلع قرنا الشيطان، في ربيعة ومضر
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami
Yahya dari Isma’il yang berkata telah menceritakan kepadaku Qais bin Uqbah bin
Amru Abi Mas’ud yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengisyaratkan tangannya kearah Yaman dan berkata “Iman di Yaman disini dan
kekerasan hati adalah milik orang-orang Faddadin
[arab badui yang bersuara keras] di belakang unta-unta mereka dari arah munculnya tanduk setan [dari] Rabi’ah dan Mudhar
[Shahih
Bukhari no 3126]
Hadits 5.
حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن أبي الزناد عن الأعرج
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رأس الكفر نحو الشرق والفخر
والخيلاء في أهل الخيل والإبل الفدادين أهل الوبر والسكينة في أهل الغنم
Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya yang berkata qara’tu ala Malik dari
Abi Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda “sumber kekafiran datang dari timur, kesombongan dan
keangkuhan adalah milik orang-orang pengembala kuda dan unta Al Faddaadin Ahlul Wabar [arab badui] dan kelembutan
ada pada pengembala kambing [Shahih Muslim 1/71 no 52]
Hadits 6.
حدثنا عبدالله بن عبدالرحمن أخبرنا أبو اليمان عن شعيب عن
الزهري حدثني سعيد بن المسيب أن أبا هريرة قال سمعت النبي صلى الله عليه و سلم
يقول جاء أهل اليمن هم أرق أفئدة وأضعف قلوبا الإيمان يمان والحكمة يمانية السكينة
في أهل الغنم والفخر والخيلاء في الفدادين أهل الوبر قبل مطلع الشمس
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman yang berkata telah
mengabarkan kepada kami Abul Yaman dari Syu’aib dari Az Zuhri yang berkata
telah mengabarkan kepadaku Sa’id bin Al Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata aku
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Penduduk Yaman datang,
mereka bertingkah laku halus dan berhati lembut iman di Yaman, hikmah di Yaman,
kelembutan ada pada penggembala kambing sedangkan kesombongan dan keangkuhan
ada pada orang-orang Faddadin Ahlul Wabar [arab badui]
di arah terbitnya matahari [Shahih
Muslim 1/71 no 52]
Hadits 7.
حدثنا موسى بن هارون ثنا عبد الله بن محمد بوران نا الأسود بن
عامر نا حماد بن سلمة عن يحيى بن سعيد عن سالم عن بن عمر أن النبي صلى الله عليه و
سلم استقبل مطلع الشمس فقال من ها هنا يطلع قرن الشيطان وها هنا الفتن والزلازل
والفدادون وغلظ القلوب
Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Harun yang berkata telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin Muhammad Fuuraan yang berkata telah menceritakan kepada kami
Aswad bin ‘Aamir yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah
dari Yahya bin Sa’id dari Salim dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menghadap ke arah matahari terbit seraya
berkata “dari sini muncul tanduk setan, dari sini muncul fitnah dan kegoncangan
dan orang-orang yang bersuara keras dan berhati kasar [Mu’jam
Al Awsath Thabrani 8/74 no 8003]
Hadits
riwayat Thabrani di atas sanadnya shahih. Musa bin Harun Abu ‘Imran seorang imam yang tsiqat
[Su’alat Al Hakim no 229]. Abdullah bin Muhammad bin
Muhaajir Fuuraan adalah sahabat Ahmad bin Hanbal seorang yang tsiqat
ma’mun [Takmilat Al Ikmal Muhammad bin Abdul Ghaniy no 4757]. Aswad bin ‘Aamir seorang yang tsiqat [At Taqrib
1/102]. Hammad bin Salamah seorang yang tsiqat
[At Taqrib 1/238]. Yahya bin Sa’id Al Anshari
seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/303]
Hadits-hadits
di atas menyebutkan kalau tempat munculnya fitnah tersebut adalah timur Madinah
dan arah timur yang dimaksud adalah arah matahari
terbit dari Madinah. Dengan fakta ini saja maka diketahui bahwa Najd
merupakan tempat yang lebih sesuai daripada Iraq karena Najd terletak di arah timur matahari terbit dari Madinah
sedangkan Iraq tidak terletak di arah matahari
terbit dari Madinah. Dari
hadits-hadits di atas juga diketahui kalau tempat yang dimaksud tertuju pada
kediaman orang-orang arab badui Rabi’ah dan Mudhar. Telah ma’ruf bahwa pada
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Najd merupakan kediaman
orang-orang arab badui [ahlul wabar] Rabi’ah dan Mudhar bukannya Iraq, Jadi
semua hadits-hadits di atas menyiratkan kalau tempat fitnah yang dimaksud
adalah Najd. Oleh karena itu jika menerapkan metode tarjih maka hadits Najd
lebih didahulukan daripada hadits Iraq.
Hadits
Ubadillah bin ‘Abdullah bin ‘Aun
Hadits 8.
حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد
الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم
قال اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في
الثالثة أو الرابعة، قالوا يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال إنّ بها الزلازل والفتن،
وبها يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-Ma’mariy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ismaail bin Mas’ud yang berkata telah menceritakan
kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun dari ayahnya, dari Naafi’ dari
Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah,
berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan pada Yamaan kami”. Beliau
[shallallaahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya beberapa kali. Ketika beliau
mengatakan yang ketiga kali atau yang keempat, para shahabat berkata “Wahai
Rasulullah, dan juga Iraq kami?”. Beliau bersabda “Sesungguhnya di sana
terdapat kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan” [Mu’jam
Al Kabiir Ath Thabrani 12/384 no 13422].
Kami
sebelumnya mengatakan hadits ini tidak shahih karena Ubaidillah telah
menyelisihi dua orang perawi tsiqat yaitu Azhar bin Sa’d dan Husain bin Hasan
dimana keduanya menyebutkan lafaz Najd bukan lafaz Iraq. Orang tersebut
membantah dengan berkata
Saya
katakan : Nampaknya orang ini sedang berandai-andai dengan pemikirannya. Yang
dikatakan ta’arudl (dalam matan) dalam ilmu hadits adalah jika bertentangan
dalam makna dan tidak bisa untuk dijamak. Pengandai-andaiannya bahwa lafadh
Najd dan ‘Iraq adalah bertentangan (ta’arudl) adalah
sesuai dengan definisi dan keinginannya. Bukan sesuai dengan ilmu ushul hadits
dan ushul-fiqh yang ma’ruf. Telah saya tulis sebelumnya bahwa lafadh Najd dan
‘Iraq tidak bertentangan dan bisa dijamak. Sesuai dengan lisan dan pemahaman
orang ‘Arab. Telah saya sebutkan perkataan Al-Khaththaabiy dan Al-Kirmaaniy
bagaimana makna kata ‘Najd’ bagi orang ‘Arab (bukan menurut orang tersebut).
Sungguh
orang ini patut dikasihani, bagaimana mungkin ia bisa tidak mengerti panjang
lebar hujjah kami dalam masalah ini. Lafaz Najd dan Iraq bertentangan karena keduanya adalah nama negeri yang berbeda.
Seandainya pun kedua lafaz itu mau dijamak maka itu berarti kedua tempat
tersebut adalah tempat munculnya fitnah. Bukan seperti logika aneh salafy-wahaby
yang mengatakan kalau Najd adalah Iraq. Perhatikan baik-baik hadits
berikut
Hadits 9.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا
حُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ
قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي
يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ هُنَاكَ الزَّلَازِلُ
وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah
menceritakan kepada kami Husain bin Hasan yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata [Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam] bersabda “Ya Allah berilah keberkatan kepada kami, pada Syam
kami dan pada Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”. Beliau bersabda “disana muncul
kegoncangan dan fitnah, dan disanalah muncul tanduk setan” [Shahih
Bukhari 2/33 no 1037]
Zahir
hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Syam
dan Yaman, keduanya adalah nama Negri yang sudah ada di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian para sahabat bertanya bagaimana
dengan “Najd kami”. Tentu saja secara zahir maksud Najd disini adalah
nama suatu Negeri seperti halnya Syam dan Yaman. Dan telah kami sebutkan bahwa
di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah masyhur Negeri
yang bernama Najd dan negri itu berbeda dengan Iraq seperti dalam hadits
berikut
Hadits 10.
حدثنا محمد بن عبد الله بن عمار الموصلي قال حدثنا أبو هاشم
محمد بن علي عن المعافى عن أفلح بن حميد عن القاسم عن عائشة قالت وقَّت رسول الله
صلى الله عليه وسلم لأهل المدينة ذا الحُليفة ولأهل الشام ومصر الجحفة ولأهل
العراق ذات عرق ولأهل نجد قرناً ولأهل اليمن يلملم
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al
Mu’afiy dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi
penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq
di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan
bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i
no 2656]
Hadits 11.
أخبرنا قتيبة حدثنا الليث عن سعيد بن أبي سعيد أنه سمع أبا
هريرة يقول بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم خيلا قبل نجد فجاءت برجل من بني
حنيفة يقال له ثمامة بن آثال سيد أهل اليمامة فربط بسارية من سواري المسجد مختصر
Telah
mengabarkan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami
Laits dari Sa’id bin Abi Sa’id yang mendengar Abu Hurairah berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengutus pasukan berkuda ke Najd
kemudian pasukan ini datang dengan membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah
yang bernama Tsumamah bin Utsal pemimpin penduduk
Yamamah kemudian diikat di salang satu tiang masjid, demikian secara
ringkas. [Shahih Sunan Nasa’i Syaikh Al Albani
no 712]
Hadits
di atas bahkan menyebutkan kalau Najd yang dimaksud termasuk Yamamah yang
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terletak tepat disebelah
timur Madinah dan yang sekarang telah menjadi daerah Riyadh dan sekitarnya.
Justru membedakan Najd dan Iraq telah sesuai
dengan lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pemahaman
para sahabat bahwa Najd dan Iraq memang kedua tempat yang berbeda pada masa
itu. Jadi tidak ada gunanya perkataan ulama yang dicatut oleh orang salafy-wahaby
itu.
Kembali
ke hadits riwayat Thabrani di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mendoakan Syam dan Yaman, kemudian para sahabat bertanya bagaimana dengan “Iraq
kami”. Anehnya salafy-wahaby langsung bisa paham kalau Iraq yang dimaksud
disini adalah nama suatu negeri tapi kalau di hadits Najd salafy-wahaby jadi
pura-pura tidak paham. Salafy-wahaby itu mengutip perkataan Ibnu Mandzur :
وما ارتفع عن تِهامة إِلى أَرض العراق، فهو نجد
“Semua
tanah yang tinggi dari Tihaamah
sampai tanah ‘Iraaq, maka itu Najd” [lihat dalam Lisaanul-‘Arab].
Bagi
kami tidak ada masalah dengan istilah itu. Najd yang ada pada hadits tanduk
setan adalah nama suatu negeri yang memang sudah masyhur dikenal sahabat
sebagaimana halnya negeri Syam dan Yaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para sahabat telah membedakan Najd dan Iraq jadi tidak ada gunanya
perkataan Ibnu Mandzur disini. Apalagi kalau diperhatikan ternyata ulama lain
justru mengatakan hal yang lebih aneh yaitu Al Khaththabi [sebagaimana yang
ditulis sendiri oleh salafy-wahaby itu]. Ia berkata :
نجد: ناحية المشرق، ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق
ونواحيها، وهي مشرق أهلها، وأصل النجد: ما ارتفع من الأرض، والغور: ما انخفض منها،
وتهامة كلها من الغور، ومنها مكة، والفتنة تبدو من المشرق، ومن ناحيتها يخرج يأجوج
ومأجوج والدجال، في أكثر ما يروى من الأخبار
“Najd adalah arah timur. Dan bagi Madinah,
najd-nya gurun ‘Iraaq dan sekelilingnya. Itulah arah timur bagi penduduk
Madinah. Asal makna dari najd adalah : setiap tanah yang tinggi; sedangkan
ghaur adalah setiap tanah yang rendah. Seluruh wilayah
Tihaamah adalah ghaur, termasuk juga Makkah. Fitnah muncul dari arah
timur; dan dari arah itu pula akan keluar Ya’juuj, Ma’juuj, dan Dajjaal
sebagaimana terdapat dalam kebanyakan riwayat” [I’laamus-Sunan, 2/1274].
Anehnya
Al Khattabi mengatakan kalau Najd adalah arah timur dan menurut Al
Khaththabi timurnya Madinah
adalah Iraq maka Najd-nya Madinah
adalah Iraq. Pertanyaannya sejak kapan Najd yang secara etimologi [asal kata]
bermakna tanah yang tinggi berubah maknanya menjadi “arah timur”?.
Kemudian apa gunanya perkataan Ibnu Mandzur “semua tanah yang tinggi dari
Tihamah sampai Iraq maka itu Najd” padahal Al Khaththabi mengatakan
seluruh wilayah Tihamah adalah ghaur. Salafy-wahaby itu hanya bisa
bertaklid tetapi tidak bisa memahami perkataan ulama yang ia kutip.
Pada
dasarnya setiap kata memiliki makna secara etimologi tetapi selain itu ternyata
ada beberapa kata yang dalam perkembangannya berubah secara historis. Seperti
halnya kata Najd secara etimologi memang bermakna tanah yang tinggi, tetapi
secara historis maksud Najd yang ada dalam hadits Tanduk setan adalah nama
suatu negri yang masyhur saat itu yaitu Najd di sebelah timur Madinah oleh
karena itu para sahabat menisbatkannya dengan kata “Najd kami”. Negri
ini dinamakan Najd karena memang tempat tersebut adalah dataran tinggi. Tidak
hanya Najd, kata Iraq pun secara etimologi bermakna “daerah tepian” atau
“daerah yang terletak diantara sungai sungai” dan secara historis Iraq
dikenal sebagai nama suatu negri karena memang negri tersebut terletak diantara
sungai sungai sehingga dinamakan Iraq. Pada hadits tanduk setan, kata Najd dan
Iraq yang dinisbatkan dengan kata “kami” adalah nama suatu Negri bukan
makna kata secara etimologi.
Adapun
‘Ubaidullah sendiri, maka Al-Bukhaariy berkata : “Ma’ruuful-hadiits”
[At-Taariikh Al-Kabiir, 5/388 no. 1247]. Abu Haatim berkata :
“Shaalihul-hadiits” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/322 no. 1531].
Kita
telah buktikan kalau Najd dan Iraq yang ada di hadits
Ibnu Umar adalah dua negri yang berbeda sehingga penjamakan yang
dilakukan oleh salafy-wahaby itu terlalu memaksa. Kesannya justru malah
mendistorsi makna hadits tersebut. Yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Aun dari
Nafi’ ada tiga orang yaitu Husain bin Hasan, Azhar bin Sa’d dan Ubaidillah.
Husain dan Azhar menyebutkan kalau tempat yang dimaksud adalah Najd sedangkan
Ubaidillah menyebutkan Iraq. Ubaidillah telah menyelisihi dua orang perawi
tsiqat yang meriwayatkan dari Nafi’ sedangkan kedudukannya sendiri paling
tinggi hanya dikatakan “shalihul hadits”. Perawi seperti ini jika
bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqat maka haditsnya tidak bisa
diterima. Kaidah ini sesuai dengan yang berlaku dalam ilmu hadits.
Hadits
Ziyaad bin Bayaan
Hadits 12.
حدثنا علي بن سعيد قال نا حماد بن إسماعيل بن علية قال نا ابي
قال نا زياد بن بيان قال نا سالم بن عبد الله بن عمر عن ابيه قال صلى النبي صلى
الله عليه و سلم صلاة الفجر ثم انفتل فأقبل على القوم فقال اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا
وصاعنا اللهم بارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله فسكت ثم قال
اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مدنا وصاعنا اللهم بارك لنا في حرمنا
وبارك لنا في شامنا ويمننا فقال رجل والعراق يا رسول الله قال من ثم يطلع قرن
الشيطان وتهيج الفتن
Telah
menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id yang berkata telah menceritkankepada
kami Hammaad bin Ismaa’iil bin ‘Ulayyah yang berkata telah menceritakan kepada
kami ayahku yang berkata telah mencertakan kepada kami Ziyaad bin Bayaan
yangberkata telah menceritakan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari
ayahnya yang berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat shubuh,
kemudian berdoa, lalu menghadap kepada orang-orang. Beliau bersabda “Ya Allah
berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami berikanlah keberkatan
kepada kami pada mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada
kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata “dan ‘Iraq,
wahai Rasulullah ?”. Beliau diam, lalu bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan
kepada kami pada Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan
shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada tanah Haram kami,
dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang
laki-laki berkata “dan ‘Iraq, wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda “dari sana
akan muncul tanduk setan dan bermunculan fitnah” [Mu'jam
Al Awsath Ath Thabraani 4/245 no 4098].
Pada
tulisan sebelumnya kami menyatakan bahwa hadits ini tidak shahih karena
mengandung illat [cacat] pada Ziyaad bin Bayaan.
Ziyaad bin Bayaan dikatakan oleh Adz Dzahabi “tidak shahih haditsnya”.
Bukhari berkata “dalam sanad haditsnya perlu diteliti kembali” [Al Mizan
juz 2 no 2927] ia telah dimasukkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa
no 2222 Al Uqaili juga memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa Al Kabir 2/75-76 no
522. Salafy-wahaby itu menanggapi dengan berkata
Saya
katakan : Ia hanya menyebutkan jarh-nya saja. Padahal kedudukan yang benar atas
diri Ziyaad bin Bayaan adalah shaduuq lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 343
no. 2068]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”.
Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Ia seorang syaikh
yang shaalih”. Tautsiq Ibnu Hibbaan jika dijelaskan seperti ini adalah
diterima, sebagaimana penjelasan Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankiil.
Mengenai
perkataan Nasa’i maka begitulah yang dinukil Ibnu Hajar dalam At Tahdzib tetapi
mengenai perkataan Ibnu Hibban maka ini patut diberikan catatan. Ibnu Hibban
tidak hanya menta’dil Ziyaad bin Bayaan, Ibnu Hibban juga memasukkan nama
Ziyaad bin Bayaan dalam kitabnya Adh Dhu’afa yang memuat nama perawi
dhaif menurutnya. Ibnu Hibban berkata “Ziyaad bin Bayaan mendengar dari Ali
bin Nufail, dalam sanad haditsnya perlu diteliti kembali (fii isnad nazhar)”
[Al Majruhin no 365].
Ibnu
‘Adiy memasukkan dalam Al-Kaamil karena mengambl pertimbangan perkataan
Al-Bukhaariy. Dan sebab pendla’ifan Al-Bukhaariy pun dijelaskan, yaitu dengan
sebab hadits Al-Mahdiy. Al-Bukhaariy berkata : “Fii isnadihi nadhar”. Jarh ini
kurang shariih.
Perkataan
salafy-wahaby kalau jarh ini kurang sharih hanyalah andai-andai dirinya yang
memang tidak bisa memahami dengan baik. Justru jarh Bukhari telah dijelaskan
bahwa dalam sanad hadits Ziyaad bin Bayaan perlu diteliti kembali [fii isnadihi
nazhar]. Ziyaad bin Bayaan terbukti meriwayatkan
hadits mungkar dan kemungkarannya terletak pada sanad hadits
tersebut. Hadits yang dimaksud adalah hadits Al Mahdi dimana Ziyad bin Bayaan
membawakan dengan sanad dari Ali bin Nufail dari Ibnu Musayyab dari Ummu
Salamah secara marfu’. Hadits ini yang diingkari oleh Bukhari dan pengingkaran
tersebut terletak pada sanadnya. Ibnu Ady dalam Al Kamil dengan jelas
mengatakan kalau Bukhari mengingkari hadits Ziyad bin Bayaan ini.
Al
Uqaili sependapat dengan pengingkaran Bukhari dan menunjukkan kalau yang tsabit
hadits dengan lafaz seperti itu adalah perkataan Sa’id bin Al Musayyab bukan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/75 no 522].
Ibnu Jauzi dalam Al Ilal Al Mutanahiyah juga menegaskan bahwa hadits dengan
lafaz seperti itu adalah perkataan Ibnu Musayyab bukan hadits Nabi dan disini
Ziyaad bin Bayaan yang merafa’kan atau menyambungkan hadits tersebut kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi kesimpulannya Ziyaad bin Bayaan
tertuduh meriwayatkan hadits mungkar dan pengingkaran Bukhari terhadap haditsnya
justru menunjukkan kalau disisi Bukhari Ziyaad bin Bayaan adalah seorang yang
dhaif. Perkataan Bukhari ini adalah perkataan yang tsabit bersumber darinya dan
kedudukan dirinya lebih dijadikan pegangan daripada penta’dilan Nasa’i. Apalagi
telah ma’ruf dalam ilmu hadits bahwa jarh yang mufassar lebih didahulukan dari
ta’dil.
Ibnu
‘Adiy pun menyebutkan pentautsiqan Abul-Maliih (Al-Hasan bin ‘Umar – seorang
yang tsiqah) pada Ziyaad bin Bayaan saat menyebutkan sanad hadits Al-Mahdiy;
Abul-Maliih berkata : “Telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah”.
Ibnu ‘Adiy menjelaskan : “Telah menceritakan kepada kami sorang yang tsiqah,
maksudnya adalah Ziyaad bin Bayaan”. Kemudian Ibnu ‘Adiy menyebutkan sanad yang
lain yang menjelaskan hal tersebut [Al-Kaamil, 4/144-145 no. 697].
Perkataan
salafy-wahaby ini sangat patut diberikan catatan, entah ia pura-pura tidak tahu
atau memang tidak tahu bahwa tautsiq Abul Maliih
ini tidaklah tsabit. Ibnu Ady membawakan dengan sanad
telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdurrahman
bin Yazid bin ‘Aqaal Al Harrani yang berkata telah menceritakan kepada
kami Abu Ja’far An Nufaili yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul
Maliih yang berkata telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah [Al
Kamil 3/196. Hadits ini tidak tsabit karena Ahmad bin Abdurrahman Al Harrani
adalah seorang yang dhaif. Adz Dzahabi memasukkannya kedalam perawi dhaif
seraya mengutip jarh Abu Arubah [Al Mughni 1/46 no 346]. Ibnu Jauzi
memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 200]. Al Haitsami
berkata “riwayat Thabrani dalam Al Ausath dari syaikh-nya Ahmad bin
‘Abdurrahman bin ‘Aqaal dan dia dhaif” [Majma’ Az Zawaid 5/65 no 8057].
Jadi tautsiq Abul Maliih disini tidaklah benar. Apalagi penetapan kalau orang
yang dimaksud Ziyaad bin Bayaan tidak nampak dalam sanad tersebut melainkan
dugaan Ibnu Adiy.
Hal
yang sama pada Al-‘Uqailiy, dimana ia memasukkan dalam Adl-Dlu’afaa dengan
pijakan perkataan Al-Bukhaariy di atas [2/430-431 no. 523]. Adz-Dzahabiy pun
demikian, yaitu menyandarkan ketidakshahihan haditsnya pada hadits Al-Mahdiy.
Akan tetapi ia memberikan penghukuman akhir terhadap Ziyaad : “Shaduuq”
[Al-Kaasyif, 2/408 no. 1671].
Al
Uqaili dalam hal ini sepakat dengan Al Bukhari dan disini ia telah menjelaskan
kalau hadits Ziyaad bin Bayaan adalah mungkar dan yang benar hadits tersebut
adalah perkataan Ibnu Musayyab. Mengenai perkataan Adz Dzahabi walaupun ia
menyatakan Ziyaad bin Bayaan shaduq ia sendiri telah menyebutkan dalam Al
Mizan dan Al Mughni kalau Ziyaad bin
Bayaan tidak shahih haditsnya dan penulisannya dalam dua kitab
tersebut menunjukkan kalau Adz Dzahabi lebih cenderung dengan pendapat yang
menjarh Ziyaad bin Bayaan.
Oleh
karenanya, pentautsiqan An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan Abul-Maliih lebih kuat
dari perkataan yang mendla’ifkannya. Kaidah mengatakan : Ta’diil lebih
didahulukan daripada jarh yang mubham.
Pentautsiqan
Nasa’i adalah penukilan sedangkan jarh Bukhari terhadap Ziyaad bin Bayaan
berasal dari kitab Bukhari sendiri. Pentautsiqan Ibnu Hibban juga bertentangan
dimana ia sendiri memasukkan Ziyaad bin Bayaan dalam kitabnya Adh Dhu’afa
sedangkan pentautsiqan Abul Maliih tidak tsabit. Tidak benar kalau jarh
terhadap Ziyaad dikatakan mubham justru jarh terhadapnya mufassar yaitu dimana
ia telah meriwayatkan hadits dengan sanad yang mungkar dan ini telah terbukti
dari riwayat-riwayat yang disebutkan oleh para ulama seperti Al Bukhari, Al
Uqaili dan Ibnu Jauzi. Mengenai pernyataan Ibnu Hajar dalam At Taqrib kalau
Ziyaad bin Bayaan seorang yang shaduq, itu telah dikritik dalam Tahrir Taqrib
At Tahdzib bahwa kedudukan sebenarnya Ziyaad bin Bayaan adalah “dhaif
ya’tabaru bihi” [Tahrir At Taqrib no 2057].
Kedudukan
hadits yang diriwayatkan perawi seperti Ziyaad bin Bayaan jika bertentangan
dengan hadits shahih maka haditsnya mesti ditolak. Hadits tanduk setan yang
sanadnya shahih adalah hadits dengan lafaz Najd sedangkan hadits dengan lafaz
Iraq matannya mungkar. Sebagaimana telah kami tunjukkan bahwa di hadits shahih
Najd merupakan tempat timbulnya fitnah.
Hadits
‘Abdullah bin Syawdzab
Hadits 13.
حدثنا محمد بن عبد العزيز الرملي حدثنا ضمرة بن ربيعة عن ابن شوذب عن توبة العنبري عن سالم عن ابن عمر قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم بارك لنا في مدينتنا وفي صاعنا، وفي مدِّنا
وفي يمننا وفي شامنا. فقال الرجل يا رسول الله وفي عراقنا ؟ فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم بها الزلازل والفتن، ومنها يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdul Aziiz Ar Ramliy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Dhamrah bin Rabi’ah dari Ibnu
Syaudzab dari Taubah Al Anbariy dari Salim dari Ibnu ‘Umar yang berkata
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah berikanlah
keberkatan kepada kami pada Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada
Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah,
dan pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan
fitnah dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [Ma’rifah
Wal Tarikh Yaqub Al Fasawiy 2/746-747]
Mengenai
hadits ini kami katakan Ibnu Syawdzab melakukan tadlis, ia tidak
mendengar hadits ini dari Taubah Al ‘Anbari. Terdapat hadits yang menyebutkan
kalau ia mendengar hadits tersebut melalui perantara.
Hadits 14.
حدثنا عبد الله بن العباس بن الوليد بن مزيد البيروتي حدثني
أبي أخبرني أبي حدثني عبد الله بن شوذب حدثني عبد الله
بن القاسم ومطر الوراق وكثير أبو سهل عن توبة العنبري عن سالم بن عبد الله
بن عمر عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اللهم بارك في مكتنا وبارك
لنا في مدينتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا اللهم بارك لنا في صاعنا
وبارك لنا في مدنا فقال رجل يا رسول الله وعراقنا فأعرض عنه فرددها ثلاثا وكان ذلك
الرجل يقول وعراقنا فيعرض عنه ثم قال بها الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin ‘Abbas bin Walid bin Mazyad Al Bayruutiy
yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan
kepadaku Abdullah bin Syawdzab yang berkata telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl
dari Taubah Al Anbariy dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Ya Allah berikanlah
keberkatan kepada Mekkah kami, dan berikanlah keberkatan kepada kami pada
Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam
kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, dan pada ‘Iraaq kami ?”.
Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula akan
muncul tanduk setan” [Musnad Asy Syamiyyin Thabrani 2/246 no
1276]
Pada
riwayat pertama Ibnu Syawdzab membawakan hadits
dengan lafaz ‘an ‘anah dari Taubah Al ‘Anbari kemudian pada
riwayat kedua Ibnu Syawdzab membawakan hadits
dengan lafaz telah menceritakan padanya Abdullah bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan
Katsir Abu Sahl dari Taubah. Sanad ini menjadi bukti bahwa pada
riwayat pertama Ibnu Syawdzab melakukan tadlis. Riwayat ‘an ‘an ah-nya dari Taubah
ia dengar dari para syaikh-nya.
Illat
[cacat] riwayat Ibnu Syawdzab disini adalah ia
menggabungkan hadits dari ketiga syaikh-nya yaitu Abdullah bin Qasim, Mathr Al
Waraaq dan Katsir Abu Sahl dalam satu lafaz matan hadits. Tetapi tidak
disebutkan lafaz matan hadits yang ia sebutkan itu adalah milik siapa. Apakah
ketiga syaikh-nya menyebutkan dengan matan yang sama yang mengandung lafaz Iraq
atau hanya salah satu saja dari syaikh-nya yang menyebutkan lafaz Iraq. Jika
kemungkinan yang kedua maka itu berarti Ibnu Syawdzab menggabungkan sanad hadits
ketiga syaikh-nya dengan menyebutkan matan yang mengandung lafaz Iraq.
Kemungkinan ini cukup beralasan mengingat Ibnu Syawdzab sendiri terbukti
melakukan tadlis dari hadits ini. Jika semua syaikh-nya itu tsiqat tsabit maka
tidak ada masalah dengan kemungkinan ini tetapi ternyata diantara syaikh-nya
terdapat perawi yang banyak melakukan kesalahan dalam hadits yaitu Mathr Al
Waraaq jadi terdapat kemungkinan kalau lafaz Iraq itu berasal dari kesalahan Mathr Al Waraaq. Mengapa dikatakan kesalahan karena
telah disebutkan di awal pembahasan di atas kalau tempat yang dimaksud adalah
Najd bukannya Iraq. Jadi kemungkinan kalau perawi disini melakukan kesalahan
dengan menyebutkan lafaz Najd menjadi illat [cacat] hadits tersebut. Salafy-wahaby
itu mengatakan
Pertama,
menyandarkan keterputusan Ibnu Syaudzab dengan Taubah hanya karena Ibnu
Syaudzab juga meriwayatkan melalui perantaraan ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr,
dan Katsiir bin Sahl; dari Taubah, bukan sebab yang kuat. Alasannya, telah
ma’ruf bahwa salah satu guru/syaikh dari Ibnu Syaudzab adalah Taubah
Al-‘Anbariy [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 15/94]. Jadi bukan satu hal yang
mustahil ia meriwayatkan dari Taubah, dan bersamaan dengan itu ia juga
meriwayatkan melalui perantaraan orang lain. Semuanya dihukumi bersambung.
Alasan
yang dikemukan salafy-wahaby kalau Taubah ma’ruf dikenal sebagai syaikh-nya
Ibnu Syawdzab patut diberikan catatan. Dalam Tahdzib Al Kamal juga disebutkan
kalau salah satu Syaikh Ibnu Syawdzab adalah Hasan Al Bashri [Tahdzib Al Kamal
15/94] dan Abu Hatim mengatakan kalau Ibnu
Syawdzab tidak melihat Hasan dan tidak mendengar dari-nya [Al
Marasil Ibnu Abi Hatim 1/116 no 94]. Bagaimana mau dikatakan syaikh-nya kalau
tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar darinya?. Jadi mengatakan
Taubah ma’ruf sebagai syaikh Ibnu Syawdzab berdasarkan penyebutan dalam Tahdzib
Al Kamal bukan hujjah yang kuat. Sejauh yang kami tahu, tidak ada hadits Ibnu
Syawdzab dari Taubah Al ‘Anbari kecuali dari hadits ini dan di hadits ini ia
terbukti melakukan tadlis.
Misalnya,
Hafsh bin Ghiyaats meriwayatkan hadits puasa Syawal melalui jalan Sa’d bin
Sa’iid bin Qais [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar
6/123 no. 2345 dan Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912]. Namun, di lain kesempatan
ia juga meiwayatkan melalui perantaraan Yahyaa bin Sa’iid bin Qais. Keduanya
adalah riwayat bersambung. Hafsh bin Ghiyaats sendiri berkata : “Kemudian aku
bertemu dengan Sa’d bin Sa’iid, lalu ia menceritakan kepadaku (hadits ini)”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912].
Dalam
contoh yang disebutkan salafy-wahaby itu jelas-jelas Hafsh bin Ghiyaats
mengatakan “kemudian aku bertemu Sa’d bin Sa’id lalu ia menceritakan
kepadaku”. Kalau sudah seperti ini ya mana mungkin mau dikatakan tadlis
berbeda dengan contoh yang ia sebutkan tidak ada pengakuan dari Ibnu Syawdzab
kalau ia bertemu dengan Taubah atau tidak ada Ibnu Syawdzab menyebutkan dengan
lafaz sima’ langsung dari Taubah. Riwayat Ibnu Syawdzab dari Taubah adalah
riwayat ‘an anah dan riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikhnya dari Taubah
itu dengan lafaz sima’ langsung. Jadi dalam hadits tanduk setan dengan lafaz
Iraq, Ibnu Syawdzab terbukti melakukan tadlis. Kasus seperti ini termasuk salah
satu cara ulama untuk menetapkan seseorang itu melakukan tadlis atau tidak.
Kedua,
taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasawiy di atas munqathi’; maka sejak
kapan meriwayatkan hadits secara munqathi’ seperti ini langsung di-ta’yin
melakukan tadlis ? Jelas beda antara irsal dan tadlis. Pensifatan tadlis itu
hanya diterima jika ada perkataan para ulama yang menjelaskan bahwa ia orang
yang melakukan tadlis.
Pernyataan
salafy-wahaby ini menunjukkan kalau ia memang susah sekali untuk memahami
tulisan orang dengan baik. Sebelumnya kami mengatakan kalau Ibnu Syawdzab tidak mendengar hadits ini dari Taubah.
Apa buktinya? Buktinya adalah terdapat riwayat kalau Ibnu Syawdzab mengambil hadits
ini dengan perantaraan ketiga syaikh-nya dari Taubah. Kami pribadi tidak pernah
memastikan bahwa Ibnu Syawdzab tidak mendengar satupun hadits dari Taubah atau
Ibnu Syawdzab tidak pernah bertemu dengan Taubah. Illat [cacat] yang kami
sebutkan adalah Ibnu Syawdzab tidak mendengar hadits ini dari Taubah. Bisa saja
dikatakan kalau Ibnu Syawdzab pernah bertemu dengan Taubah Al Anbari,
tetapi ini adalah kemungkinan yang perlu dibuktikan walaupun kami sendiri tidak
menafikan kemungkinan ini. Berbeda halnya dengan salafy-wahaby yang dengan
angkuhnya mengatakan kalau Taubah ma’ruf dikenal sebagai syaikh-nya Ibnu
Syawdzab padahal kemungkinan irsal tetap ada. Oleh karena kemungkinan bertemu
antara Ibnu Syawdzab dan Taubah itu masih ada maka kami menggunakan kata-kata
tadlis bukan irsal. Sangat maklum kalau pengertian tadlis adalah seorang perawi
semasa dan pernah bertemu dengan perawi lain tetapi ia meriwayatkan suatu hadits
dari perawi lain tersebut [yang sebenarnya ia dengar melalui perantara] tetapi
ia mengatakan seolah-olah ia mengambil hadits itu langsung dari perawi lain
tersebut.
Yang
lebih lucu bin ajaib adalah perkataan salafy-wahaby kalau pensifatan tadlis
hanya diterima jika ada ulama yang menjelaskan bahwa ia melakukan tadlis. Lha
memangnya seorang ulama bisa tahu si perawi melakukan tadlis dengan cara apa,
wangsit dari langit, asal tebak sesuai selera, atau sok berasa-rasa. Dalam ilmu
hadits justru disebutkan kalau salah satu cara ulama mensifatkan tadlis kepada
seorang perawi adalah dengan melihat hadits yang ia riwayatkan. Jika terdapat
riwayat bahwa ia membawakan suatu hadits dengan ‘an anah dari seorang perawi
[semasa dan pernah bertemu] dan disaat lain ia menyebutkan riwayat dengan sima’
langsung melalui perantara dari perawi tersebut maka orang ini dikatakan
melakukan tadlis.
Kalau
hanya sekedar meriwayatkan secara maushul di satu jalan dan mursal/munqathi’ di
jalan yang lain, itu bukan tadlis namanya. Saya pingin tahu rujukannya di kitab
ilmu hadits yang menjelaskan kaedah aneh ini. Jika ini diterapkan, maka jumlah
perawi mudallis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Ath-Thabaqaat akan bertambah
tebal dua kali lipat atau lebih.
Lha
iya, saya juga pingin tahu rujukan mana yang mengatakan seperti yang salafy-wahaby
katakan itu. Seharusnya salafy-wahaby itu memahami dulu tulisan orang lain
dengan baik baru membantah. Jika kasus seperti Ibnu Syawdzab ini tidak
dikatakan tadlis dengan alasan mungkin saja Ibnu
Syawdzab juga mendengar hadits ini dari Taubah secara langsung maka kami katakan dengan cara seperti ini
mungkin jumlah perawi mudallis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Ath Thabaqaat akan
berkurang dua kali lipat atau lebih. Kenapa? karena setiap perawi tidak
bisa dituduh melakukan tadlis [kecuali ia sendiri yang mengaku] bisa saja
dikatakan mungkin saja ia mendengar secara langsung. Kami perjelas kembali jika
ada suatu hadits diriwayatkan oleh seorang perawi [kita sebut A] dengan dua
kondisi
- A meriwayatkan dengan ‘an anah dari B
- A meriwayatkan dengan sima’ langsung dari C dari B
Maka
si A dikatakan melakukan tadlis dalam riwayat ini. Jika mau dikatakan A juga
mendengar langsung hadits ini dari si B maka harus dicari riwayat yang
memang menyebutkan riwayat A dari si B dengan lafal sima’ langsung sehingga
dari sini baru kita dapat menyebutkan kalau A mengambil hadits ini secara
langsung dari B dan C sehingga terangkatlah ia dari tuduhan melakukan tadlis
dalam hadits tersebut.
Ketiga,
taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasaawiy di atas munqathi’, justru
riwayat Ibnu Syaudzaab yang secara shaarih berkata : “Telah mengkhabarkan
kepada kami ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl, dari Taubah
Al-‘Anbariy” menunjukkan penyambungan riwayat munqathi’ tadi.
Lha
iya, justru riwayat inilah yang langsung kita fokuskan untuk dibahas dan dikritik
dengan menunjukkan illat [cacat] yang berupa kemungkinan kesalahan perawinya
yaitu Mathar Al Warraq. Riwayat Al Fasawy langsung kita palingkan pada
riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya.
Keempat,
‘Abdullah bin Al-Qaasim adalah seorang yang shaduuq. Mathr Al-Warraaq ini
adalah shaduuq, namun banyak salahnya. Katsiir (bin Ziyaad) Abu Sahl ini adalah
seorang yang tsiqah. Ketiganya meriwayatkan dari Taubah, dari Saalim, dari Ibnu
‘Umar secara marfuu’. Riwayat ketiganya saling menjadi saksi dengan yang lain,
sehingga tidak ragu untuk mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Pernyataan
ini kembali membuktikan ia tidak memahami atau tidak berniat mau memahami illat
[cacat] yang kami sebutkan. Satu hal yang harus kami tekankan kembali disini, Ibnu Syawdzab menggabungkan ketiga sanad dari gurunya itu
dalam satu sanad hadits bukannya membawakan sanad beserta matan hadits dari
guru-gurunya secara terpisah. Pada pembahasan sebelumnya kami
menunjukkan bahwa dalam penggabungan sanad seperti ini terdapat dua kemungkinan
- Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga Syaikhnya yaitu Abdullah bin Qasim, Mathr dan Katsir Abu Sahl dimana ketiganya memang menyebutkan lafaz “Iraq”.
- Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga syaikhnya dimana lafaz Iraq tersebut hanya berasal dari salah satu Syaikhnya sehingga disini Ibnu Syawdzab menggabungkan sanad hadits tersebut dan matan hadits yang berlafaz Iraq berasal dari salah satu syaikhnya.
Untuk
kemungkinan pertama maka benarlah apa yang dikatakan oleh salafy-wahaby itu
bahwa ketiga syaikh-nya itu saling menjadi saksi dengan yang lain. Tetapi
mengenai kemungkinan kedua maka itu tidak bisa, jika lafaz Iraq itu berasal
dari Mathar Al Warraq maka sudah jelas dhaif.
Oleh
karena itu, perkataan : Illat atau cacat yang ada pada riwayat Ibnu Syawdzab
adalah tidak diketahui dari syaikhnya yang mana lafaz Iraq tersebut berasal;
tidak perlu dihiraukan.
Silakan
saja, sejak kapan salafy-wahaby itu menghiraukan argumen orang lain. Pada
pembahasan sebelumnya kami telah menunjukkan kepada pembaca contoh penggabungan
sanad seperti ini, kami tidak keberatan untuk menyebutkannya kembali.
Hadits 15.
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا أبو علي الحسين بن علي الحافظ
أنا أبو يعلى الموصلي ثنا واصل بن عبد الأعلى و عبد الله
بن عمر ثنا محمد بن فضيل عن أبيه قال سمعت سالم بن عبد الله بن عمر يقول
: يا أهل العراق و
ما أسألكم للصغيرة و أركبكم للكبيرة سمعت أبي عبد الله بن عمر يقول
: رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول :
إن الفتنة تجيء من ها هنا و أومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان و انتم
يضرب بعضكم رقاب بعض و إنما قتل موسى الذي قتل من آل فرعون خطا فقال الله عز و جل
قتلت نفسا فنجيناك من الغم و فتناك فتونا
Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah Al Hafizh yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Husain bin Ali Al Hafizh yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Ya’la Al Maushulli yang
berkata telah menceritakan kepada kami Waashil bin ‘Abdul A’laa dan ‘Abdullah
bin ‘Umar berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail,
dari ayahnya yang berkata Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang
masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah
mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
salam bersabda ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan
tangannya ke arah timur dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling
menebas leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang
berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa
jalla berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami
selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan.” (Thaahaa: 40)”. [Syu’aib Al Iman Baihaqi 4/346 no 5348].
Pada
hadits riwayat Baihaqi ini disebutkan bahwa Abu Ya’la menggabungkan sanad kedua
syaikh-nya yaitu Abdullah bin Umar bin Aban dan Washil bin ‘Abdul
A’la dengan satu matan hadits. Padahal sebenarnya matan hadits Abdullah bin
Umar bin Aban berbeda dengan matan hadits Washil bin Abdul A’la. Hadits riwayat
Baihaqi di atas yang mengandung lafaz “wahai penduduk irak” adalah matan
hadits Abdullah bin Umar bin Aban sedangkan matan hadits Washil bin Abdul A’la
tidak ada lafaz “wahai penduduk irak”. Buktinya adalah apa yang tertera
dalam Musnad Abu Ya’la
Hadits 16.
حدثنا واصل بن عبد الأعلى الكوفي حدثنا ابن فصيل عن ابيه عن سالم عن ابن عمر قال سمعت رسول
الله صلى الله عليه و سلم – يقول : إن الفتنة تجيء من ها هنا وأومأ بيده نحو
المشرق حيث يطلع قرن الشيطان وأنتم يضرب بعضكم بعض رقاب بعض وإنما قتل موسى الذي
قتل من آل فرعون خطأ قال الله له : { وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا }
Telah menceritakan kepada kami Washil bin Abdul A’la Al Kufiy
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari ayahnya dari
Salim dari Ibnu Umar yang berkata aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda “‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan
tangannya ke arah timur dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling
menebas leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang
berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa
jalla berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami
selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan.” [Musnad Abu Ya’la 9/383 no 5511
dishahihkan oleh Husain Salim Asad]
Hadits 17.
حدثنا عبد الله بن عمر بن أبان حدثنا محمد فضيل عن أبيه قال : سمعت سالم بن عبد الله بن عمر
يقول يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغير وأترككم للكبير
! ! سمعت أبي عبد
الله بن عمر يقول : سمعت رسول الله ـ صلى الله عليه و سلم ـ يقول : الفتنة تجيء من
ها هنا ـ وأومأ بيده نحو المشرق ـ وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض وإنما قتل موسى ـ صلى
الله عليه و سلم ـ الذي قتل من آل فرعون خطأ قال الله { وقتلت نفسا فنجيناك من
الغم وفتناك فتونا {
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Umar bin Aban yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari
ayahnya yang berkata aku mendengar Salim bin Abdullah bin Umar berkata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah
kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah
mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari
sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah munculya dua tanduk
setan’. Kalian saling menebas leher satu sama
lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga
Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya
‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan
dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan.” [Musnad Abu Ya’la 9/420 no
5570 dishahihkan oleh Husain Salim Asad]
Perhatikanlah
riwayat Baihaqi sebelumnya, Abu Ya’la menggabungkan sanad hadits dimana ia
mengambil hadits tersebut dari kedua syaikhnya yaitu Abdullah bin Umar bin Aban
dan Washil bin Abdul A’la kemudian meriwayatkan dengan satu matan yang ada
lafaz “wahai penduduk Iraq”. Lafaz ini berasal dari Abdullah bin Umar bin Aban
sedangkan pada riwayat Washil bin Abdul A’la tidak ada lafaz tersebut. Ini
contoh nyata kalau seorang perawi bisa saja menggabungkan sanad para syaikhnya
dan membawakan matan salah satu syaikhnya saja. Seandainya ini seandainya lho,
Abdullah bin Umar bin Aban ini dhaif maka lafaz tersebut “wahai penduduk Irak…”
adalah dhaif. Tidak bisa dikatakan kalau Washil bin ‘Abdul A’la menjadi saksi
atas lafaz tersebut karena matan hadits Washil tidak memuat lafaz yang
dimaksud.
Kembali
ke riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya maka kami katakan tidak ada penjelasan dari Ibnu Syawdzab kalau lafaz tersebut
milik syaikh-nya yang mana.
Bisa saja memang dari ketiga syaikh-nya tetapi bisa saja dari salah satu
syaikhnya. Poin kami disini kemungkinan dhaif itu ada apalagi Ibnu Syawdzab
terbukti melakukan tadlis maka bisa saja disini lafaz matan itu milik
Mathar Al Waraaq tetapi Ibnu Syawdzab menggabungkan sanadnya dengan syaikh-nya
yang lain.
Anehnya,
ada metode pilih-pilih perawi saat orang itu berkata : Terdapat kemungkinan
kalau riwayat Ibnu Syawdzab dengan lafaz Iraq ini berasal dari Mathar bin
Thahman Al Warraq dan disebutkan Ibnu Hajar kalau ia seorang yang shaduq tetapi
banyak melakukan kesalahan [At Taqrib 2/187]. Mengapa harus Mathar bin Thahmaan
? Ya, karena ia adalah perawi yang paling mungkin untuk dijadikan alasan
pendla’ifan. Padahal, sanad hadits itu satu, dimana Mathar ini diikuti (punya
mutaba’ah) dari ‘Abdullah bin Al-Qaasim dan Katsiir bin Ziyaad Abu Sahl.
Lucu
sekali salafy-wahaby ini, kami telah panjang lebar menjelaskan dan jelas-jelas
kami katakan disitu terdapat kemungkinan
kalau lafaz tersebut berasal dari Mathar Al Warraq. Kami tidak berani memastikan tetapi kami
menunjukkan kemungkinan ini apalagi telah kami kutip perkataan Abu Nu’aim :
كذا رواه ضمرة عن ابن شوذب عن توبة ورواه الوليد بن مزيد
عن ابن شوذب عن مطر عن توبة
Begitulah
riwayat Dhamrah dari Ibnu Syawdzab dari Taubah dan telah meriwayatkan Walid bin
Mazyad dari Ibnu Syawdzab dari Mathar dari Tawbah [Hilyatul Auliya 6/133]
Perhatikan
baik-baik disini Abu Nu’aim hanya menyebutkan Mathar padahal setelah itu ia
menyebutkan hadits Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya. Mengapa Abu Nu’aim
hanya menyebutkan Mathar dalam komentarnya di atas?. Mengapa Abu Nu’aim tidak
menyebutkan Abdullah bin Qasim dan Katsir Abu Sahl?. Abu Nu’aim pilih-pilih
perawi?. Bagi kami disini terdapat isyarat kalau matan tersebut adalah milik
Mathar Al Warraq. Kemungkinan dhaif yang kami paparkan disini menjadi illat
[cacat] karena hadits ini bertentangan dengan hadits shahih kalau tempat keluarnya
fitnah tersebut adalah Najd. Jadi pada awalnya kami menganggap hadits Iraq
matannya mungkar sehingga kemungkinan dhaif atau illat yang seperti itu sudah
cukup menjadi alasan kalau hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah
Hadits
Salim bin ‘Abdullah bin Umar
Hadits 18.
حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر
الوكيعي ( واللفظ لابن أبان ) قالوا حدثنا ابن فضيل عن أبيه قال سمعت سالم بن
عبدالله بن عمر يقول يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغيرة
وأركبكم للكبيرة سمعت أبي عبدالله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله
عليه و سلم يقول إن الفتنة تجئ من ههنا وأومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا
الشيطان وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض وإنما قتل موسى الذي قتل من آل فرعون خطأ فقال
الله عز و جل له { وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا } [ 20 / طه
/ 40 ] قال أحمد بن عمر في روايته عن سالم لم
يقل سمعت
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdul
A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al Wakii’iy [dan lafaznya adalah lafaz Ibnu Abaan]
ketiganya berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya
yang berkata Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah
kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah
mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari
sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah munculya dua tanduk
setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang
yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu
Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya ‘Dan kamu pernah membunuh seorang
manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu
dengan beberapa cobaan.” [Thaahaa: 40]”. Berkata Ahmad bin Umar dalam
riwayatnya dari Salim tanpa mengatakan “aku mendengar” [Shahih
Muslim 4/2228 no 2905].
Hadits
ini shahih dan menunjukkan kalau Salim bin ‘Abdullah bin Umar sedang
mengingatkan penduduk Iraq atas sikap mereka. Perhatikan baik-baik perkataan
Salim terhadap penduduk Iraq hanya berupa kata-kata “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah
kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar”
selebihnya ia menyebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang fitnah sampai akhir hadits. Jadi sangat wajar kalau kami katakan Salim
sedang mengingatkan atas sikap penduduk Irak karena sikap mereka tersebut dapat
menimbulkan fitnah.
Adapun
perkataannya bahwa perkataan tabi’in tidak menjadi hujjah, maka ini bukan
konteksnya. Konteks yang berlaku di sini adalah perkataan Saalim diterima dalam
penafsiran hadits. Asal perkataan perawi terhadap hadits yang dibawakannya
lebih didahulukan daripada selainnya. Ini yang ma’ruf.
Silakan
saja, sebagai suatu penafsiran maka itu mengandung kemungkinan benar atau
salah. Apalagi jika hadits yang dimaksud terkait dengan ramalan maka penafsiran
Salim tidak bersifat mutlak. Kaidah perkataan perawi terhadap hadits yang
dibawakannya lebih didahulukan jelas tidak relevan disini karena perkara
yang ada dalam hadits Salim adalah Nubuwat atau ramalan, bisa jadi si perawi
kurang memahami hadits tersebut karena dimasa ia hidup belum nampak nubuwatnya.
Diketahui dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Salim sendiri bahwa arah
timur yang dimaksud dalam hadits tanduk setan adalah arah matahari terbit sedangkan Irak tidak terletak pada arah matahari terbit dari
Madinah. Berdasarkan fakta yang ada sekarang Irak terletak di
arah timur laut yang lebih dekat ke utara dari Madinah. Sejak kapan matahari
terbit dari arah ini di madinah. Silakan bagi siapa yang berminat untuk pergi
ke Madinah dan lihat dimana arah matahari terbit disana, kemudian teruslah
berjalan menelusuri arah itu. Apakah akan sampai di Irak? silakan pembaca
menjawabnya sendiri.
Lagipula
terdapat hadits lain riwayat Nafi dari Ibnu Umar kalau tempat yang dimaksud
adalah Najd dan ini sesuai dengan hadits Salim bahwa tempat tersebut terletak
pada arah matahari terbit dari Madinah. Jadi bisa saja Salim tidak mengetahui
dengan tepat arah yang dimaksud [karena keterbatasan ilmu alam saat itu] dan
bisa saja Salim tidak mengetahui hadits Najd yang diriwayatkan oleh Nafi’. Yang
ia tahu adalah hadits dengan lafaz timur sehingga ia menafsirkan timur disini
bisa termasuk Irak. Oleh karena itu kami katakan perkataan
tabiin tidak menjadi hujjah disini karena yang menjadi hujjah adalah hadits
shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terakhir ada hadits
pamungkas yang dijadikan hujjah oleh salafiyun bahwa timur yang dimaksud Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam adalah Iraq.
Hadits 19.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا بن نمير ثنا حنظلة عن سالم بن
عبد الله بن عمر عن بن عمر قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يشير بيده يؤم العراق ها ان الفتنة ههنا ها ان الفتنة
ههنا ثلاث مرات من حيث يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah telah menceritakan kepadaku ayahku [Ahmad
bin Hanbal] yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang
berkata telah menceritakan kepada kami Hanzalah dari Salim bin ‘Abdullah bin
Umar dari Ibnu Umar yang berkata “aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengisyaratkan tangannya ke Iraq [dan
bersabda] “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, tiga kali dari
arah munculnya tanduk setan” [Musnad Ahmad 2/143 no 6302]
Hadits
ini khata’ [salah] dan kesalahan ini kemungkinan berasal
dari Ibnu Numair [atau bisa saja terjadi tashif]. Telah diriwayatkan dari
Salim, Nafi dan Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar semuanya dengan lafaz
timur dan telah diriwayatkan dari jama’ah tsiqat dari Salim hadits tersebut
semuanya dengan lafaz “timur” bukan Iraq bahkan Hanzalah bin Abi Sufyan
sendiri juga meriwayatkan dari Salim hadits dengan lafaz timur.
Disebutkan dalam Shahih Muslim 4/2228 no 2905 dan Musnad Ahmad 2/40 no 4980
riwayat Ishaq bin Sulaiman dari Hanzalah bin Abi Sufyan dari Salim dari ayahnya
secara marfu’ dengan lafaz timur
Hadits 20.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا إسحاق بن سليمان سمعت حنظلة سمعت
سالما يقول سمعت عبد الله بن عمر يقول رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يشير إلى المشرق أو قال إن رسول الله صلى الله عليه و
سلم يشير إلى المشرق يقول ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا ها إن الفتنة ههنا
من حيث يطلع الشيطان قرنيه
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku
ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman yang
berkata aku mendengar Hanzalah berkata aku mendengar Salim berkata aku
mendengar Abdullah bin Umar berkata “aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengisyaratkan tangannya ke arah timur
atau [Ibnu Umar] berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan
tangannya ke arah timur dan bersabda “ fitnah datang dari sini, fitnah datang
dari sini, fitnah datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan” [Musnad
Ahmad 2/40 no 4980]
Riwayat
Ishaq bin Sulaiman Ar Razi dari Hanzalah ini sesuai dengan riwayat shahih yang
lain dimana disebutkan dengan lafaz timur. Ishaq bin Sulaiman adalah seorang
yang tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 1/81] sedangkan Abdullah bin
Numair adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/542]. Jadi riwayat Ishaq bin
Sulaiman dari Hanzalah lebih didahulukan daripada riwayat Ibnu Numair.
Selain
itu bukti kalau hadits ini khata’ adalah pada hadits Muslim dimana Salim
mengingatkan penduduk Iraq, Salim sendiri tidak mengutip hadits ini padahal hadits
ini mengandung lafaz Iraq. Salim malah membawakan hadits dengan lafaz timur
yang menunjukkan bahwa lafaz timur itulah yang tsabit sedangkan lafaz Iraq
adalah kesalahan dari perawinya. Bukankah kalau mau mengingatkan penduduk Irak
maka digunakan hadits yang memang menunjukkan kata Irak. Ada baiknya salafy-wahaby
itu melihat hadits berikut
Hadits 21.
حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا جويرية، عن نافع، عن عبد الله رضي
الله عنه قال قام النبي صلى الله عليه وسلم خطيبا، فأشار
نحو مسكن عائشة، فقال هنا الفتنة – ثلاثا – من حيث يطلع قرن الشيطان
Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada
kami Juwairiah dari Nafi’ dari ‘Abdullah radiallahu’anhu yang berkata Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri menyampaikan khutbah kemudian Beliau berisyarat menunjuk tempat tinggal Aisyah dan berkata
“disini fitnah” tiga kali dari arah munculnya tanduk setan [Shahih
Bukhari no 2937]
Hadits
dengan lafaz seperti ini anehnya ditolak oleh para salafiyun dengan alasan
telah diriwayatkan oleh jama’ah dengan lafaz timur dan itulah yang tsabit. Pada
hadits ini dikatakan kalau yang sebenarnya ditunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah arah timur. Kalau tempat tinggal Aisyah yang sangat dekat
itu saja bisa terjadi salah persepsi maka apalagi hadits dengan lafaz Iraq.
Karena telah ma’ruf bahwa Iraq itu terletak sangat jauh dari Madinah. Jadi jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan tangannya ke suatu arah
maka yang dipersepsi oleh mereka yang melihat adalah arah seperti arah timur
atau barat. Jika memang tempatnya dekat seperti rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, rumah Hafsah radhiyallahu ‘anha atau rumah salah satu sahabat radhiyallahu ‘anhu maka mereka yang melihat dapat
mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memang menunjuk ke
tempat tersebut. Tetapi jika tempat yang dimaksud adalah Iraq yang jauh sekali
dari Madinah, bagaimana mungkin orang tahu kalau
yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Iraq padahal dalam
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada disebutkan Iraq,
disinilah keanehan lafaz tersebut. Sudah jelas bahwa hadits-hadits shahih dari
Ibnu Umar [termasuk riwayat Salim] menyebutkan kalau Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengisyaratkan tangannya ke arah timur dan timur yang
dimaksud disini adalah arah matahari terbit arah munculnya tanduk setan dan
sekali lagi Irak tidak terletak pada arah matahari terbit dari Madinah.
Soal
pernyataan salafy-wahaby bahwa para ulama terdahulu menjelaskan kalau tempat
yang dimaksud adalah Irak maka kami katakan terdapat juga ulama yang mengatakan
kalau tempat yang ada pada hadits fitnah itu adalah tepat di timur Madinah
termasuk Najd. Kami sebelumnya sudah mengutip pernyataan Ibnu Hibban dimana ia setelah mengutip hadits tanduk
setan menyebutkan kalau timur yang dimaksud adalah timur Madinah
yaitu Bahrain tempat keluarnya Musailamah yang
pertama kali membuat bid’ah di dalam islam dengan mengaku sebagai Nabi [Shahih
Ibnu Hibban 15/24 no 6648]
Oleh J Algar
Posted
by bicarasalafy-wahaby
SUMBER: Analisis Pencari Kebenaran
Kesimpulan
:
Kesimpulannya
hadits tanduk setan dengan lafaz Iraq tidaklah shahih baik dari segi matan
maupun sanad, sebagiannya dhaif dan sebagian mengandung illat. Seandainya kita
menutup mata terhadap illat [cacat] tersebut, itu tetap saja tidak mendukung
hujjah salafy-wahaby. Karena itu berarti ada dua hadits yang menunjukkan tempat
munculnya fitnah yaitu Najd dan Irak. Jika kedua hadits tersebut diterima maka
ada dua tempat dimana munculnya fitnah yang dimaksud oleh hadits tersebut yaitu Najd dan Irak. Sedangkan logika salafy-wahaby
kalau Najd adalah Irak sudah
jelas fallacy. Adakah salafy-wahaby memahami hal ini? Tidak tidak dan tidak,
sejak kapan salafy-wahaby bisa memahami logika berpikir yang baik. Kebanyakan
mereka hanya sibuk membaca kitab dan sibuk membantah disana-sini tapi cara
berpikir benar tidak dipelajari dengan baik. Akibatnya sangat susah berdialog
dengan mereka yang ngaku-ngaku salafy-wahaby, sudah ditunjukkan kalau mereka
fallacy ya tetap tidak paham dan berulang-ulang mereka membantah kembali hal
yang sama. Salam Damai
____________________
sepertinya anda yang gak paham sodaraku. Dari judulnya ajha sdh salah. Apalagi isinya????? Anda gak bisa membedakan mana salafy dan mana wahabi. SALAM DAMAI!!!
BalasHapus