Kajian Ilmiyyah Sejarah Ringkas
Muhammad ibn Abdil Wahhab Dan Gerakan Wahhabiyyah
[Supaya Anda Kenal Bahwa Kaum Wahhabi Bukan Ahlussunnah]
Wahabi;
anti takwil, mengartikan FAUQ hanya dalam makna ARAH ATAS saja, makanya mereka
SESAT!!! Waspadai ajaran Wahabi!!! Klik gambar...
Permulaan
munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun
1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di
wilayah Nejd dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal
pada tahun 1206 H. Ia banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap
sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Ajarannya tersebut banyak ia ambil
atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya
telah padam, di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah,
mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya
dari para Nabi dan orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan
dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”,
atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali,
menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja, mengatakan bahwa
talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya talak semacam itu
hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang yang bersumpah
dengan nama Allah, namun ia menyalahinya.
Selain
menghidupkan kembali faham-faham Ibn Taimiyyah, Muhammad ibn
Abdil Wahhab juga membuat faham baru, di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz
(semacam jimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau
nama-nama Allah, mengharamkan bacaan keras dalam shalawat kepada Rasulullah
setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal dengan
kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini berbeda
dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya.
Syekh
as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir
kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan
sebagai berikut:
“Pasal;
Fitnah kaum Wahhabiyyah.”
“Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada
permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah
salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil
Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta
banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini
akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan
prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri
dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk
mewaspadainya dan menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan
apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia
telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh.
Ajaran-ajarannya tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama agama
ini. bahkan dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan orang-orang Islam
sendiri. Ia mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya,
atau tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang,
serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah perbuatan
syirik. Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah
perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil
para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan tawassul dengan mereka
adalah perbuatan syirik. Ia juga meyakini bahwa menyandarkan sesuatu kepada
selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah pekerjaan syirik,
seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau
“Wali Allah si fulan memberikan manfaat apa bila bertawassul dengannya”. Dalam
menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa dalil
yang sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak memoles ungkapan-ungkapan
seruannya dengan kata-kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak diikuti
oleh orang-orang awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil Wahhab telah menulis
beberapa risalah untuk mengelabui orang-orang awam, hingga banyak dari
orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-orang Islam dari
para ahli tauhid”
(al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 66).
Dalam
kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Banyak
sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan
bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat
karenanya. Mereka adalah orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan
dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut
menjadi kenyataan. Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang
ia serukannya ini adalah sebagai pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari
syirik. Dalam keyakinannya bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang
dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku
bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang
turun tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli
tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang
berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang tidak akan pernah mengabulkan
baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai terhadap
orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan janganlah
engkau berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at
bagimu dan yang tidak memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau melakukan itu
maka engkau termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Yunus: 106), juga
firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama sekali tidak
mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai
ayat lainnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa siapa yang meminta
pertolongan kepada Rasulullah atau para nabi lainnya, atau kepada para wali
Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka, atau juga meminta syafa’at
kepada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-orang musyrik,
dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga mengatakan
bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah
dan orang-orang saleh untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang
musyrik di atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang
musyrik saat mereka menyembah berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka
-berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-Zumar:
3), menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang melakukan tawassul
sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang mengatakan
tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri
kepada Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 67).
Pada
halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Al-Bukhari
telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menggambarkan
sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang
orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orang-orang mukmin. Dalam Hadits
lain dari riwayat Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhu pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Hal
yang paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku
adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat
al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua riwayat Hadits ini benar-benar
telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat
al-Islâmiyyah, j. 2, h. 68).
Syekh
as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:
“Di
antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab
adalah salah seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn
Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di
antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn
Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu terhadap orang-orag
Islam”
(al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).
Masih
dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:
“Mereka
(kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah
dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang
saleh yang tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu
ketika setelah mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah,
ini setelah adanya larangan dari kaum Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh
buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya
ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang
diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan
untuk itu, namun setidaknya sekedar inipun cukup” (al-Futûhat
al-Islâmiyyah, j. 2, h. 77).
Di
antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan
shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan adalah peristiwa yang
terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika pengumandang adzan masjid Jami’
al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam setelah adzan, sebagaimana kebiasaan
di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”,
dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di
pelataran masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama
saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…”.
Kemudian
terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang
Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini
dibawa ke mufti Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian
mufti Damaskus ini memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin
al-Albani, dan membuat perjanjian dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran
Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran
Wahhabi maka ia akan dideportasi dari Siria.
Kemudian
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Muhammad
ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan
khutbah jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya ia selalu
mengatakan bahwa siapapun yang bertawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka ia telah
menjadi kafir.
Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah
seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya ini selalu mengingkari
Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan segala apa
yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti
berbagai bid’ah yang diserukan olehnya. Suatu hari Syekh Sulaiman berkata
kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil
Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya
enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau anggap
bukan seorang muslim”.
Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn
Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di
setiap malam Ramadlan?” Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan
Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan
sejumlah orang yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang
tersebut berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai
sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas
siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal
menurutmu orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn
Abdil Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah sedikitpun.
Suatu ketika, salah seorang kepala suatu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah sedikitpun.
Suatu ketika, salah seorang kepala suatu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.
Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata
kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah
ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad ibn Abdil
Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga
enam ratus tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian
berkata: ”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari
manakah engkau mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa yang aku
serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang
tersebut berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat
wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu
ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati
di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua
pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul
telah menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ
al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).
Yang
dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam
keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga
tahun masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan
hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa
antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa
hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa
tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang
yang datang untuk memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah
yang selaras dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya
adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu
Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap bahwa hingga datang
abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah Ibn
Taimiyah tersebut.
Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh sangat sangat
aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam
Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa hanya
pengikutnya sendiri yang benar-benar dalam Islam?! Padahal
jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian di Najd
sendiri, yang merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk wilayah
tersebut di masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan
faham-fahamnya. Hanya saja memang saat itu banyak orang di wilayah tersebut
takut terhadap dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa segan membunuh
orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya.
Prilaku
jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir
ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya,
ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah ia
mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia kemudian berbalik
mengingkarinya. Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil Wahhab,
ash-Shan’ani memujinya dengan menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait
sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:
سَلاَمٌ عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلّ فِي نَجْدِ وَإنْ كَانَ
تَسْلِيْمِيْ عَلَى البُعْدِ لاَ يجْدِي
“Salam
tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun
salamku dari kejauhan tidak mencukupi”.
Bait-bait
sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân)
karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan,
bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam karyanya berjudul
al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya berjudul
at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan
tempat di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakekatnya.
Padahal al-Amir ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa
prilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu membunuh orang-orang yang tidak
sepaham dengannya, merampas harta benda orang lain, mengkafirkan mayoritas umat
Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian terhadapnya yang telah ia tulis
dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani kemudian
membuat bait-bait sya’ir baru untuk mengingkiari apa yang telah ditulisnya
terdahulu, di antaranya sebagai berikut:
رَجَعْتُ عَن القَول الّذيْ قُلتُ فِي النّجدِي فقَدْ صحَّ لِي
عنهُ خلاَفُ الّذِي عندِي
ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُـلْتُ عَـسَى عَـسَى نَجِدْ نَاصِحًا يَهْدي العبَادَ وَيستهْدِي
لقَد خَـابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب نصـحُنا ومَـا كلّ ظَـنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي
وقَـدْ جـاءَنا من أرضِـه الشيخ مِرْبَدُ فحَقّق مِنْ أحـوَاله كلّ مَا يبـدِي
وقَـد جَـاءَ مِـن تأليــفِهِ برَسَـائل يُكَـفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ
ولـفق فِـي تَكْـفِيرِهمْ كل حُــجّةٍ تَرَاهـا كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ
ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُـلْتُ عَـسَى عَـسَى نَجِدْ نَاصِحًا يَهْدي العبَادَ وَيستهْدِي
لقَد خَـابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب نصـحُنا ومَـا كلّ ظَـنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي
وقَـدْ جـاءَنا من أرضِـه الشيخ مِرْبَدُ فحَقّق مِنْ أحـوَاله كلّ مَا يبـدِي
وقَـد جَـاءَ مِـن تأليــفِهِ برَسَـائل يُكَـفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ
ولـفق فِـي تَكْـفِيرِهمْ كل حُــجّةٍ تَرَاهـا كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ
“Aku
ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd,
sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”. “Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata:
Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemberi
petunjuk bagi orang banyak”. “Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah
kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan
kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada
ketaidaktahuan akan hakekat-hakekat”. “Telah datang kepada kami “Syekh” ini
dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya
tentang segala hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”. “Telah datang dalam
beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia
mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.
Selain
bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan
ash-Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair
tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk membuka hekekat
Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim dan
ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan
judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Saudara
kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh
Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah menuliskan karya bantahan kepadanya.
Beliau namakan karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî
al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak. Kemudian terdapat karya
lainnya dari Syekh Sulaiman, yang juga
merupakan bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya,
berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Kemudian
pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh
Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijriyah, telah
menulis sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih
al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan biografi ringkas setiap tokoh
terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil
Wahhab disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran
tokoh-tokoh madzhab Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil
Wahhab ditulis dengan sangat buruk, namanya disinggung dalam penyebutan nama
ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi
ayahnya ini Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:
“Dia
(Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad yang ajaran
sesatnya telah menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan anak ini
memiliki perbedaan faham yang sangat jauh, dan Muhammad ini baru menampakan
secara terang-terangan terhadap segala faham dan ajaran-ajarannya setelah
kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa orang dari
sebagian ulama dari beberapa orang yang hidup semasa
dengan Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad.
Karena Muhammad ini tidak mau mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama
lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga mempunyai firasat
bahwa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sangat besar. Kepada banyak orang Syekh
Abdul Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan melihat dari Muhammad ini suatu
kejahatan…”. Dan ternyata memang Allah telah mentaqdirkan apa yang telah
menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.”
Demikian
pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia
sangat mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak membantah saudaranya
tersebut dengan berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits,
karena Muhammad tidak mau menerima apapun kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits
saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang dinyatakan oleh para
ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang ia terima hanya
perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang
dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat
diganggu gugat. Kepada banyak orang ia selalu mempropagandakan
pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang dengan
pemahaman yang sama sekali tidak dimaksud oleh keduanya. Syekh Sulaiman
menamakan karya bantahan kepadanya dengan judul Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd
‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb.
Syekh Sulaiman ini telah diselamatkan oleh Allah dari
segala kejahatan dan marabahaya yang ditimbulkan oleh Muhammad, yang padahal
hal tersebut sangat menghkawatirkan siapapun. Karena Muhammad (bin Abdul
Wahhab) ini, apa bila ia ditentang oleh seseorang dan ia tidak kuasa untuk
membunuh orang tersebut dengan tangannya sendiri maka ia akan mengirimkan
orangnya untuk membunuh orang itu ditempat tidurnya, atau membunuhnya dengan
cara membokongnya di tempat-tempat keramaian di malam hari, seperti di pasar. Ini karena Muhammad
memandang bahwa siapapun yang menentangnya maka orang tersebut telah menjadi
kafir dan halal darahnya.
Disebutkan
bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki kebiasaan membunuh
siapapun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad memerintahkan orang-orangnya
untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang ditangannya ke masjid di
saat Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukkan,
Syekh Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut
sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila tersebut langsung melemparkankan
pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau takut,
sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu
mengulang-ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas
merupakan karamah” (as-Suhub al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).
Dalam
tulisan Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi di atas bahwa Syekh Abdul Wahhab
sangat murka sekali kepada anaknya; Muhammad (bin Abdul Wahhab), karena tidak mau mempelajari ilmu
fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan seorang ahli fiqih dan bukan
seorang ahli Hadits.
Adapun yang membuat dia sangat terkenal tidak lain adalah karena ajarannya yang
sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara para pengikutnya yang sangat
mencintainya, hingga mereka menggelarinya dengan Syekh al-Islâm atau Mujaddid,
adalah klaim laksana panggang yang sangat jauh dari api. Para pengikutnya yang
lalai dan terlena tersebut hendaklah mengetahui dan menyadari bahwa tidak ada
seorangpun dari sejarawan terkemuka di abad dua belas hijriyah yang mengungkap
biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan menyebutkan bahwa dia adalah seorang
ahli fiqih atau seorang ahli Hadits.
Syekh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya; Hâsyiyah Radd
al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr menuslikan sebagai berikut:
“Penjelasan;
Perihal para pengikut Muhammad ibn Abdil
Wahhab sebagai kaum Khawarij di zaman kita ini.
Pernyataan pengarang kitab (yang saya jelaskan ini)
tentang kaum Khawarij: “Wa Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa mereka
adalah kaum yang mengkafirkan para sahabat Rasulullah, artinya kaum Khawarij
tersebut bukan hanya mengkafirkan para sahabat saja, tetapi kaum Khawarij
adalah siapapun mereka yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib dan
memberontak kepadanya. Kemudian dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut bahwa
yang memerangi Ali ibn Abi Thalib, yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah juga
orang-orang kafir.
Kelompok Khawarij ini seperti yang terjadi di zaman kita
sekarang, yaitu para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi
dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Mereka memakai kedok madzhab
Hanbali. Mereka meyakini bahwa hanya diri mereka yang beragama Islam, sementara
siapapun yang menyalahi mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu untuk menegakkan keyakinan ini mereka mengahalalkan
membunuh orang-orang Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di antara ulama
Ahlussunnah yang telah mereka bunuh. Hingga kemudian Allah menghancurkan
kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga mereka
dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, yaitu pada tahun seribu dua ratus
tiga puluh tiga hijriyah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr,
j. 4, h. 262; Kitab tentang kaum pemberontak.).
Salah
seorang ahli tafsir terkemuka; Syekh Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam ta’lîq-nya
terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai berikut:
“Menurut
satu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena mereka adakah
kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits
Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka.
Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah
kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka
mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal
mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh setan hingga mereka
lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sesungguhnya
golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah,
semoga Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-Najdiyyah, h. 86).
Kesimpulan :
1. Permulaan munculnya
Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun 1143 H di Najd.
2. Dia mengajak kembali kepada Quran dan Hadits dengan
menghidupkan kembali faham-faham Ibn Taimiyyah yang sudah lama padam, tetapi
mengkafirkan orang yang berbeda paham dengannya.
3. Dia suka membunuh orang Islam bahkan ulama yang
berbeda paham dengannya, bahkan sampai sekarang adanya teroris internasional
juga berakar dari kelompok Wahhabi.
4. Ulama mayoritas
sepakat mensesatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab dan dikatakan sebagai
kelompok Wahhabiyyah dan termasuk golongan khawarij, yaitu golongan yang keluar
dari jamaah mayoritas kaum muslimin.
5. Sekarang dikenal dengan kelompok SALAFI – WAHHABI,
yang sukanya membid’ahkan dan mengkafirkan kaum muslimin yang berbeda paham
dengannya atau orang yang tidak mau mengikuti kelompoknya.
6. Kelompok Salafi Wahhabi bukan ahlus sunnah wal jamaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar