Salafi-Wahhabi Bohong Besar atas
Pengakuannya Sebagai Pengikut Salafuna Shalih
Salafi-Wahabi punya
slogan top yaitu: “Kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah menurut pemahaman
Sahabat”. Dengan Slogan inilah
Salafi-Wahhabi dengan sombong mengklaim bahwa hanya Salafi-Wahabi satu-satunya
pengikut faham Salaf. Mereka sering berteriak, kebenaran hanya satu yaitu
Salafi/Salafi-Wahabi. Pengakuan Salafi-Wahabi sebagai pengikut
Salaf serta merta membuat mereka merasa berhak memakai nama
“Salafi”. Ternyata klaim ini adalah bohong besar. Terlalu banyak
fakta yang membantah telak atas klaim Salafi-Wahabi sebagai pengikut
Salaf. Oleh karena itulah di mana-mana di dunia ini Salafi-Wahabi
digugat sebagai penipu dan dikatakan sebagai pengikut palsu Salafuna Shalih. Perkataan-perkataan
para Ulama Salafi-Wahabi yang sering meremehkan ucapan Sahabat
Nabi sebagai menyalahi AlQur’an dan Sunnah, kemudian ditiru para pengikutnya
secara taqlid buta, itu semua cukup menjadi bukti atas pengakuan
palsu Salafi-Wahabi sebagai pengikut Salaf.
Kali ini kami akan
perlihatkan bagaimana ketika Ulama Salafi-Wahabi menghadapi persoalan agama,
dan kemudian pendapat Ulama Salafi-Wahabi itu berbenturan dengan perkataan Para
Sahabat Nabi saw, maka mudah saja Salafi-Wahabi mengatakan bahwa Sahabat nabi
menyalahi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Begitu beraninya meremehklan Para Sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, apakah Salafi-Wahabi-Salafi-Wahabi itu tidak menimbang
kadar dirinya dengan Para Sahabat yang Mulia? Tidakkah mereka sadar
ucapannya itu sudah merendahkan derajat Para Sahabat sebagai Muttabi’ lalu
jatuh menjadi penentang Allah dan Rasul-Nya? Jika sudah demikian
faktanya lalu masihkah Salafi-Wahabi itu tidak malu mengaku sebagai pengikut
Salaf?
Jika Sahabat Nabi saja
diperlakukan tak sopan seperti itu, apalagi para Tabi’in, Tabi’t Tabi’in dan para ulama setelahnya
semisal Imam Syafi’ dan yang lainnya. Kemudian ulama-ulama berikutnya
juga tak luput dari penistaan semacam itu, kita bisa lihat misalnya kasus Ibnu
Hajar Al-Atsqolani , Imam Nawawi yang juga dianggap menyalahi
dalil-dalil. Sesungguhnya bukan para Ulama Salaf yang menyalahi
Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi memang pendapat para Ulama Salaf tidak
sesuai selera Salafi-Wahabi, sehingga oleh Salafi-Wahabi dikatakan tidak sesuai
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Para pembaca yang
terhormat, untuk menguak lebih jelas lagi permasalahan
klaim Salafi-Wahabi yang penuh kontradiksi ini, kami ajak anda untuk
menyimak tulisan kritis dari akhi Dean Sasmita berikut
ini, monggo….
SALAFI-WAHABI, BETULKAH KALIAN PENGIKUT ULAMA SALAF ?
Selain menimbulkan
polemik tentang definisi bid’ah dan pembagian tauhid, golongan Salafi-Wahabi
memang dikenal dengan sifat plin-plan dan kontradiksinya. Ini karena mereka seringkali
tidak konsisten dalam mengambil sumber hukum. Walaupun mereka selalu berkata
bahwa mereka mengambil dan mengikuti pemahaman manhaj salaf dalam masalah
Aqidah dan Syari’at. Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang
berbeda dengan “pemaham akal” seorang ulama Salafi-Wahabi, maka mereka
cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat
tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz dibawah ini. (beberapa contoh kasus ini
diambil dari beberapa dialog antar golongan Salafi-Wahabi yang berbantahan
dengan sebuah partai politik yang berideologi Islam di Indonesia dan ini
merupakan gambaran berikutnya bahwa Salafi-Wahabi tak pernah harmonis
dengan siapa pun atau golongan apa pun bahkan dengan sekte-sekte salafy-nya
sekalipun).
Seseorang pernah
menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat
Abu Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat-sahabat lainnya tentang kebolehan
memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka
Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan
pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” !! (Majalah Hidayatullah edisi
03XVIIJuli 2004; hal. 40-41).
Jika seperti itu
kenyatannya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ? Golongan Salafi-Wahabi ini
dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk lebih
baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini ! Dan menyatakan bahwa
mereka (para ulama salafi palsu) lebih mengetahui hadits Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senantiasa
menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul
shallallahu ‘alaihi wasallam !! Lalu dengan beraninya, ia berkilah lagi bahwa
hadits itu belum sampai kepada Sahabat tersebut. Tapi malah sudah sampai
pada Albani, Utsaimin, Ibn Baz dkk ? Seakan-akan golongan
Salafi-Wahabi menyatakan bahwa para ulama salafi palsu ini mengklaim diri
merekalah yang ‘lebih nyalaf’ dibandingkan para Salaf
As-Sholeh itu sendiri !
Dan banyak lagi
kasus ulama Salafi-Wahabi yang lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri,
ketika pada saat yang bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in yang berbeda dengan pendapat mereka. Sebagaimana contoh
berikut :
“ Pada suatu
pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa membolehkan
pernikahan dengan ahlul kitab dengan persyaratan. Sebagian mahasiswa yang
mengikuti pelajaran itu berkata : “Wahai Syeikh, sebagaian Sahabat melarang hal
itu !”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa itu, lalu berkata : “Apakah perkataan
Sahabat menentang Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Tidak berlaku pendapat siapapun
setelah firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi
03XVIIJuli 2004; hal. 40-41).
Lalu bagaimana bisa,
golongan Salafi-Wahabi ini mengklaim mengambil manhaj Salaf dalam memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman sahabat, sementara pada saat yang
bersamaan menolak dan mencampakkan pendapat mereka ? Seraya melontarkan kata-kata
keji yang menodai kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash
Al-Qur’an dan Al-Hadits, dengan ucapan : “Hadits shahih ini belum sampai pada
mereka’, atau ‘apakah anda akan memilih pendapat sahabat atau hadits Rasul
shallallahu ‘alaihi wasallam’ “!! Sehingga menurut orang-orang salafi palsu
ini, seakan-akan mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah
mendengar apalagi mendapat hadits dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam !
Cukuplah hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menghakimi perbuatan-perbuatan
dan ucapan-ucapan mereka : “Jika anda melihat orang-orang yang mecela
sahabatku, maka katakanlah; Laknat Allah atas keburukanmu” (HR. AT-Tirmidzi) !!!
Lalu bagaimana juga
bisa dikatakan bahwa hasil pemahaman akal Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk atas
nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah selalu mewakili pendapat dan pemahaman
Salaf atau dikatakan sebagaimana pemahaman para sahabat ?!, seperti yang
dilakukan oleh Ibn Baz ketika ia mengomentari banyak persolan yang diulas oleh
seseorang dengan menyebutkan , menurut madzhab ini begini dan menurut madzhab
itu begitu. Lalu dia berkomentar : “Bagi kami tidak berpendapat
berdasarkan madzhab ini dan madzhab itu. Kami berpendapat dengan firman Allah
SWT dan sabda rasul shallallahu ‘alaihi wasallam “(Majalah
Hidayatullah edisi 03XVIIJuli 2004; hal. 40-41).
Apakah para
Salafi-Wahabiyyun itu tidak mengetahui, dari mana para ulama ahlussunnah ini
mengambil pendapat madzhabnya ? Mereka mengambil pendapatnya dari Imam
Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll ! Kitab Al-Muwatho karya Imam
Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya)
mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan
murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah. Lalu Fathur
Rabani-nya – Imam Ahmad Ibn Hambal yang berisi ribuan hadits nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, bahkan ketika beliau ditanya apakah seorang yg hafal
100 ribu hadits boleh berijtihad sendiri, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’.
Lalu beliau ditanya lagi : ‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadits boleh
berijtihad sendiri’ , Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika
beliau ditanya kembali : ‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadits boleh
berijtihad sendiri’ , lalu Imam Ahmad menjawab : ‘boleh’. Bahkan Imam
Abu Hatim sampai menyatakan bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah.
Abu Hatim berkata : “Jika anda lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah
ia adalah pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An- Nubala’ 11/198).
****
Lalu apakah tidak boleh
seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi pewaris madzhab Sahabat, tabi’in, tabiut
tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadits lebih), Imam Syafii yg
menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah (yang juga berisi ribuan hadits); dan Imam Abu
Hanifah yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yang berisi juga hadits-hadits dan
fatwa Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ?
Apakah ketika ada
seseorang mengambil salah satu pendapat Imam Asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik,
Ahmad ibn Hambal dll dikatakan sebagai Ahlut Taqlid, sedang ketika Salafi-Wahabiyyun
mengambil Albani, Ibn Baz, Utsaimin dll, disebut sebagai muttabi (pengikut)
Manhaj Salaf ?! Lalu adakah salah satu ulama Salafi-Wahabi yang punya
karya melebihi al-Muwatho Imam Malik, atau yg hafal hadits lebih dari 400 ribu
seperti Imam Ahmad, atau kitab fiqh sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!!
Tidak ada !!! Lantas bagaimana kelompok sempalan ini bisa mengatakan hal
seperti itu ?
Sungguh ucapan seperti
itu merupakan bentuk kekurang ajaran kepada para Ulama Mujtahid yang
dilontarkan dari generasi terakhir yang sama sekali tidak mencapai barang
secuil pun dari ilmu para Imam Mujtahid (yang sering sok tahu dengan mengklaim paling
berpegang dengan madzhab Salaf !!!), dan pada saat bersamaan menuduh para ulama
ahlus sunnah yang mengambil pendapat para Imam Mujtahid sabagai Ahlut Taqlid.
Padahal sebenarnya Imam Mujtahid inilah yang paling layak disebut sebagai
pewaris madzhab Salaf dalam Aqidah dan fiqh karena dekatnya mereka dengan masa
Sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin dan banyak ahli ilmu pada masa itu !
Tidak cukup sampai
disini tatkala ada seseorang atau kelompok menukil atau mengambil
pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll, yang
berbeda dengan pemahaman seorang tokoh Salafi-Wahabi, maka serta merta kelompok
sempalan ini biasanya akan mengatakan : “tinggalkan pendapat Syafi’i
atau Hanafi, dan ambilah hadits shohih ini yang telah ditakhrij oleh Albani
dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah atau Adh-Dhoifah !” . Lalu seakan-akan
Salafi-Wahabi menuduh Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali adalah ‘anak kemarin
sore’ yang tidak tahu dalil, apalagi hadits shohih dan dhoif, lalu untuk
memperkuat argumentasinya biasanya dinukil ucapan Para Imam Ini; spt Imam
Syafi’i : “ Jika ada hadits shohih, maka tinggalkan pendapatku” atau ucapan
Imam Hanafi atau Maliki yang serupa – (tentunya dengan pemahaman yang tidak
pada mestinya dan merasa ‘ke pe-de-an’) !
Padahal, sebenarnya
para Imam ini tetap berhujjah dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dimana yang membuat pendapat mereka
berbeda bisa karena : perbedaan metode Ushul Fiqh untuk istimbath (mengekstaksi
hukum-hukum dari dalil-dali syara), atau mereka berbeda dalam menghukumi apakah
nash ini apakah sudah mansukh dan hukum yang baru ditentukan dengan nash yang
lain, atau mereka berbeda tentang status keshahihan sebuah hadits atau sebab
lain. Itu pun jika Salafi-Wahabiyyun memang mau mencari Al-Haq dangan hujjah
yang terkuat dan melepaskan ‘ruh ta’asub’ !!
Disisi lain, ulama
Salafi-Wahabiyyun ini juga kadang melakukan penukilan ‘khianat’ dari para ulama
tentang keharusan ‘mentahdzir’ (memberi hukuman) ahlul bid’ah yang tidak sesuai dan tidak
pada tempatnya atau cara pemahaman mereka yang tekstual, padahal para ulama
yang dinukil qaul-nya tadi, juga sebagian besar divonis sesat oleh ulama
Salafi-Wahabiyyun !!! Imam Qurthubi, Imam Nawawi, AL-Hafidz Ibn Hajar, Imam
Al-Hakim dll divonis menyimpang aqidahnya karena mereka asy’ari, tapi kitab
mereka seperti tafsir al-qurthubi, Syarh shohih muslim, al-mustadrak, fathul
bari dan karya Ibn Hajar yang lain tentang manakibur rijal al-hadits (biografi
para perawi hadits), masih sering dinukil bahkan tidak jarang digunakan unutk
menjustifikasi ‘pendapat mereka’ dan digunakan untuk ‘ menohok’ saudara sesama
muslim. Apa itu bukan asal comot namanya ?! Seharusnya, ketika mereka sudah
memvonis bahwa ulama tersebut berbeda aqidah dengan aqidah yang mereka peluk,
mereka sudah tidak berhak lagi menukil dari karya-karya mereka !!! (tidak
konsisten dan standard ganda seperti orang ‘bokek’, maka sepertinya wajar saja
ada yang menyebut golongan ini sebagai ‘madzhab plin-plan’ !!!)
Bahkan jika memang
kelompok salafi palsu ini berisi oleh ulama yang ‘pilih tanding’, buat saja
tafsir yang selevel dengan milik AL-Qurtubi atau Ibn Katsier; atau buat kitab Jarh Wa Ta’dil
atau Manakib Ar-rijal Al-hadits yang lebih baik dari karya Al-Hafidz Ibn Hajar
atau Al-Hafidz Ibn Asakir dll; atau buatlah kitab hadits yang jauh lebih shohih
dari Al-Mustadraknya Al-Hakim atau Kitab Shohihnya Ibnu Hibban, Mu’jamnya Ibn
Hajar Al-Asqolani. Itu pun kalau Salafi-Wahabi mampu !!!
Lalu siapakah Albani,
Ibn Baz, Utsaimin dkk, jika dibandingkan dengan Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki,
dan Hambali ?! Padahal kepada
mereka inilah (yaitu Imam Syafi’i dkk) para ‘warasatul anbiya’ kita mengkaji
dan mengambil Al-Islam ini ! Ditambah lagi dengan mudahnya kelompok sempalan
ini menuduh para ulama pengikut Madzhab Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi
sebagai Ahlul bid’ah karena punya hasil ijtihad yang berbeda dengan kelompok
mereka dalam memahami nash-nash syara’ atau bahkan dicap sesat bahkan disamakan
dengan Mu’tazilah atau Jabariyah ketika mereka punya penafsiran yang berbeda
terutama dalam masalah aqidah (biasanya dalam masalah Asma dan Sifat) . Padahal
pada hakikatnya yang lebih pantas disebut sebagai penerus madzhab Salaf
Ash-Sholeh adalah para Imam ini, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi,
Al-Auzai, Hasan Al-Bashri dll dari para Mujtahid umat ini, karena dekatnya
mereka dengan masa para Salaf Ash-Shalih dan telah terbukti mereka punya metode
ushul fiqh; yang dengan metode itu mereka berijtihad dan melakukan istimbath
untuk menjawab problematika umat pada masanya, sehingga umat Islam senantiasa
terikat dengan hukum syara’ bukan dengan hukum yang lainnya ! Dan bukannya
Albani, Utsaimin, dan Ibn Baz atau selain mereka, kecuali mereka bisa
menunjukkan metode Ushul Fiqh yang jauh lebih unggul dari para Imam Mujtahid
ini !!!
****
Klaim bahwa
Salafi-Wahabiyyun mengikuti pemahaman para sahabat itu terbukti kelemahannya,
karena tidak ada satu riwayatpun yang shahih – yang menceritakan kepada kita
bahwa para sahabat atau salah seorang diantara mereka membukukan metode mereka
dalam memahami nash-nash syara’ (metode Ushul Fiqh), kecuali sebagian riwayat yang
menjelaskan tentang fatwa sahabat dan tabi’in dalam beberapa masalah seperti
yang banyak dicantumkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya ‘Al-Muwatho’. Malah
ternyata mereka hanya mengikuti pemahaman Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk.
Bukannya ini taqlid buta ?! Atau ‘memaksakan’ berijtihad sendiri ?!
Pertanyaannya adalah :
dari mana kelompok salafi palsu ini mengklaim mengetahui cara para sahabat,
tabiin dan tabiut tabiin ini memahami Al-Quran dan As-Sunnah, padahal mereka
(para Sahabat) tidak pernah membukukan metode tersebut ?!!
Jawabnya mudah; baca
kitab Ar-Risalah dan Al-Umm-nya Imam Asy-Syafi’i, karena beliaulah yang pertama
kali (menurut sebagian Ulama dan sejarawan Islam) yang membukukan metode
tersebut (yang kemudian dikenal dengan metode Ushul Fiqh) !!! Yang selanjutnya
digunakan ulama-ulama sesudahnya sebagai patokan dan pedoman untuk memahami
nash-nash syara dari Al-Kitab dan As-Sunnah !!! Hal sama juga akan kita dapati
jika kita mengkaji kitab Fiqh Al-Akbar-nya Imam Abu Hanifah, Al-Muwatho-nya
Imam Malik, Fathur Rabani-nya Imam Ahmad Ibn Hambal dll ? Jadi, bukan atas
fatwa Albani, Ibn Baz dan Utsaimin !!! Dan ternyata para Salafi-Wahabiyyun
banyak terpengaruh kitab-kitab karangan ulama Salafi-Wahabi ini serta
ulasan-ulasan mereka mengenai kitab-kitab karangan para Imam madzhab
sebagaimana pemikirannya sendiri bahkan dengan kebusukan mereka memalsukan
isi-isi kitab klasik karangan para ulama salaf !!!
Lalu dari mana para
Imam ini merumuskan metode Ushul Fiqh, kalau tidak dari pendahulu mereka yang
mulia, mengingat masih dekatnya masa mereka dengan masa para Salaf Ash-Sholeh tersebut (banyak yang
mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik masih termasuk Tabi’in dan
tabi’ut tabi’in), dan banyaknya Ahli Ilmu pada masa itu ?! Apalagi banyak
riwayat yang menyebutkan bahwa karya-karya mereka seperti Al-Umm, Ar-Risalah
atau Fathur rabbani – Musnad Imam Ahmad diakui oleh jumhur ulama pada masa itu.
Bahkan Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dalam muqadimah
kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak
keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah.
Walhasil, yang pantas
disebut sebagai penerus Salaf Ash-Sholeh dan berjalan diatas manhaj salaf serta
mengerti pemahaman para sahabat adalah mereka yang mengikuti metode Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh Para
Imam Mujtahid ini, untuk menggali hukum dari nash-nash syara’ guna menjawab
problematika kontemporer umat saat ini, agar seperti pendahulunya mereka
senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.
Lalu sekarang darimana
Salafi-Wahabiyyun bisa buktikan, bahwa metode yang mereka gunakan itu adalah
metode yang sama dengan yang digunakan para salaf ini ? Sedangkan Salafi-Wahabiyyun
tidak punya metode ushul fiqh baku yang di-ikuti dalam berijtihad, apalagi
membuktikan kalau metode itu berasal dari para Salaf Ash-Sholeh ini !
Selanjutnya, tentang
ulama-ulama Salafi-Wahabi yang diaku sebagai Ulama Hadits, apakah memang benar
realitanya seperti itu ? Semua orang boleh melakukan klaim, tetapi semua itu
harus dibuktikan terlebih dahulu !!!
Coba perhatikan
penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut sebagian Imam
hadits, orang yang disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddis) adalah orang yang
pernah menulis hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan
rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadits, mampu
merumuskan beberapa aturan pokok (hadits), dan mengomentari cabang dari Kitab
Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan”. Jika demikian
(syarat-syarat ini terpenuhi) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli
hadits.
Tetapi jika ia sudah
mengenakan jubah pada kepalanya, lalu berkumpul dengan para penguasa pada
masanya, atau menghalalkan perhiasan lu’lu dan marjan atau memakai pakaian yang
berlebihan (pakaian yang berwarna-warni), dan ia hanya mempelajari hadits
Al-Ifki wa Al-Butan, maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak
memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia
tidak pantas dan jauh dari menyan dang gelar seorang Muhaddis. Karena dengan
kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka
ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al- Sakhowi, juz
1hal. 40-41). Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis
generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i,
Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll. Apakah
tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk ghuluw) dengan
menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk) dengan
syeikh-syeikh Salafi-Wahabi yang tidak pernah menulis hadits, membaca,
mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadits atau
bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadits yang
mencapai seribu karangan lebih ?
Sekarang kita
tinggal tanya saja pada pengikut, simpatisan, dan korban doktrin Salafi-Wahabi
ini; apakah masih menganggap Albani sebagai muhaddits? Atau Utsaimin telah
keluar dari kontradiksinya tentang bid’ah? Atau masih mengikuti ulama-ulama
mereka yang selalu mengeluarkan fatwa-fatwa nyeleneh yang
membuat kemarahan muslim sedunia ? Atau hanyalah pentaqlid buta ulama
Salafi-Wahabi yang berlindung dibalik ketiak raja saudi ?! Jika
pernyataan-pernyataan diatas ini masih dianggap kurang, padahal sudah jelas
pengungkapan faktanya, jangan-jangan mata hati dan pikiran kalian sudah
tertutup untuk melihat kebenaran (al-haq) diluar kelompok kalian karena ‘ruh
ta’ashub’ sudah mengalir dalam urat nadi kalian! Namun jika kalian berusaha
untuk mencari kebenaran yang haq tanpa menafikan informasi dan ilmu dari luar
(objektif), tanpa adanya syak prasangka yang jelek (su’udzon), tanpa
rasa benci pada seseorang apalagi ia seorang ulama, insyaAllah hidayah
menuju pintu kebenaran akan terbuka.
oleh Dean Sasmita
Kesimpulan :
Sebenarnya yang pantas
disebut sebagai penerus Salaf Ash-Shaleh dan berjalan diatas manhaj salaf serta
mengerti pemahaman para sahabat adalah mereka yang mengikuti metode Ushul
Fiqh yang telah dirumuskan oleh Para Imam Mujtahid, untuk menggali hukum
dari nash-nash syara’ guna menjawab problematika kontemporer umat saat ini,
agar seperti pendahulunya mereka senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.
Bertobatlah wahai PENULIS, sungguh andalah yang berbohong, mereka berlepas diri dari apa yang anda tuduhkan....
BalasHapusAstaghfirullah,semoga Allah selalu memberi rahmat kepada hambanya yang berjalan di jalan yang lurus.Semoga Allah memberikan ampunan kepada kita semua terutama saya karena saya merasa lebih hina dan tidak lebih baik dari pada orang-orang yang sedang di hina ini,sesungguhnya Allah maha mngetahui mana yang hak dan mana yang batil,bagaimana air mata tidak menetes melihat semua ini.Semoga Allah memberikan pahala kepada orang-orang yang sholeh dan semoga Allah juga memberikan hidayah kepada orang -orang yang melampaui batas.Betapa bahagianya orang-orang yang sekarang masih bertahan di tengah semua fitnah ini,karena saya yakin Allah akan memberikan yang lebih baik dari pada sekedar pujian dari manusia.
BalasHapusapa untungnya kita menjelekan sadara kita sendiri,selama dia islam maka dia tetap sudara kita,apakah kita lebih baik dari mereka? semoga allah memberi hidayah kepda orang yang suka mencela orang lain
BalasHapusMohon izin untuk share di blog kami http://daarulfiqih.blogspot.co.id.
BalasHapusLanjutkan kupasan mengenai Slafi Wahabi bin Khawarij ini, supaya tidak banyak ummat yang terperosok kedalamnya
sepertinya banyak yang kepanasan ,teruskan perjuanganmu teman
BalasHapusmencaricari pembenaran demi golongan agar terlihat yg paling benar,ini namanya paham kelompok menuding / mengkorbankan saudara sendiri.dengan keras hati mempertahankan ilmu agama tradisi jadi ahlul fitnah,dikarenakan malu dengan amalan amalan tradisi budaya,STOP..!!! Tradisi Budaya jangan di Islam kan.Islam sudah sempurna jgn kalian sempurnakan dengan amalan tradisi budaya.
BalasHapusSaya bukan wahabi. dan tidak tahu apa itu wahabi. Yang saya tahu saya ahlusunnah bkn yg lain aplg syi'ah.
BalasHapusAcuan saya adalah quran dan hadist tp tetap bermahzab (kebertulan saya bermahzab syafi'i) namun tidak fanatik dengan menganggap ulama lain "SALAH" seperti beberapa ormas yg seakan-akan melebihi mahzab itu sendiri dan saling mencela.
Tulisan ini apa menganggap saya termasuk wahabi? kedua apakah benar wahabi itu tidak mempercayai mahzab? Jika "Iya" berarti sesat karena empat ulama besar tersebur adalah jalan untuk kita bisa mengikuti Quran dan Hadits. Jadi wajib bermahzab tanpa terbatas pada yang mana.
Tapi klo yang ditulis tidak sesuai fakta, dimohon jangan menjelek2an sodara sesama muslim hanya untuk kepentingan diri sendiri atau golongan... Silahkan cari tahu tt ciri-ciri orang munafik dan hukumannya. Semoga kita termasuk golongan umat Rosululloh tercinta...
Maaf,,terkesan ada api kebencian dlm tulisanya,,
BalasHapusSecara logika orang-orang yang dituduh ini adalah lebih tahu dari kita tentang sahabat,Rasul dan Islam dari pada kita yang orang non Arab.
BalasHapusIntropeksi diri dulu baru tuduh orang lain.
saya harap penulis untuk segera tobat kepada allah swt.karna telah mempitnah para ulama ahlul sunah[syeh bin bas,syeh usaimin,syeh nasirudin albani]mereka sangat mencitai para sahabat nabi saw.
BalasHapusAlhamdulillah... betul saudaraku. Tulisan anda benar dan menjadi petunjuk buat bagi kaum muslimin di Indonesia sebagai bahan referensi yang baik. Salafi (salah fikir) wahabi bukanlah seperti Salafi yang kita pahami. Mereka sangat lihai dengan dana pergerakan yang sangat besar. Ulama salaf mana yang mereka para salafi wahabi ikuti?...
BalasHapus300 tahun adalah perhitungan berdasarkan hadits yang masih masuk dalam perhitungan ulama salaf. Kebohongan besar dari mereka ketika tidak mengikuti salah satu dari 4 Madzhab yang ada. Mereka mengikuti para ulama Khalaf, bukan ulama Salaf. Wahai kaum muslimin saudaraku, perhatikan tahun kelahiran para tokoh-tokoh ulama salaf yang mereka jadikan pegangan dalam berdakwah. Itu bukan masuk perhitungan ulama Salaf. Dalilnya adalah Hadits. Mereka mau ngomong apa lagi?...
Alhamdulillah... betul saudaraku. Tulisan anda benar dan menjadi petunjuk buat bagi kaum muslimin di Indonesia sebagai bahan referensi yang baik. Salafi (salah fikir) wahabi bukanlah seperti Salafi yang kita pahami. Mereka sangat lihai dengan dana pergerakan yang sangat besar. Ulama salaf mana yang mereka para salafi wahabi ikuti?...
BalasHapus300 tahun adalah perhitungan berdasarkan hadits yang masih masuk dalam perhitungan ulama salaf. Kebohongan besar dari mereka ketika tidak mengikuti salah satu dari 4 Madzhab yang ada. Mereka mengikuti para ulama Khalaf, bukan ulama Salaf. Wahai kaum muslimin saudaraku, perhatikan tahun kelahiran para tokoh-tokoh ulama salaf yang mereka jadikan pegangan dalam berdakwah. Itu bukan masuk perhitungan ulama Salaf. Dalilnya adalah Hadits. Mereka mau ngomong apa lagi?...
Masya Allah udah tau bobrok kecium bau kebusukan kebangkaian masih aja berusaha ngebungkusnya,
BalasHapusSepandai pandai bangkai kalo di bungkus. Yang namanya bangkai tetap bangkai bau gk enak sepinter apapun nyimpennya tetep kecium bangkai
الخوارج هم كلاب النار
Para khowarij wahabi itu anjing² neraka
Pendistori kitab adalah wahhabi dengarkan kata imamnya yg bernama utsaimin assalafiy al wahhaby;
فَإِن التحريف من دأب اليهود
Sesungguhnya pendistori pemalsuan segala macam barang(kitab) adalah tradiai orang² YAHUDI.
makan tuh bumerang bokap loee..