Kembali
ke Al Qur’an – Al Sunnah Itu Kalau Anda Seorang Mujtahid Mutlaq
Sungguh
Tidak Proporsional Jika Orang-orang Awam Disuruh Kembali ke Al Qur’an dan As Sunnah.
Apalagi jika yang menyerukan juga sesama kaum awam, sebab seruan itu hanya pas
jika diserukan oleh orang-orang yang kapable keilmuannya,
diserukannya juga kepada orang-orang yang kapable. Sungguh tidak semudah yang
diucapkan kembali ke al Qur’an dan as Sunnah, diperlukan ilmu yang memadai.
Singkatnya bahwa kembali ke Al Qur’an dan As Sunnah itu ditujukan kepada para
pengambil keputusan hukum-hukum Syar’i, sungguh berlebihan jika ini ditujukan
kepada kaum awam. Akibat
yang ditimbukannya bukan kebaikan akan tetapi hanya fitnah-fitnah di tengah
Ummat Islam.
Sebagaimana
akhir-akhir ini di dunia internet seperti Facebook atau blog-blog pribadi
terutama blog milik pengikut sekte Salafy Wahabi dan variant-nya sudah semakin
banyak yang latah menyerukan dengan sombongnya agar kembali ke Al Qur’an dan As
Sunnah. Bahkan
mereka mengklaim sekte mereka sebagai satu-satunya pengikut Al Qur’an dan
Sunnah sedangkan yang bukan golongannya dianggap sebagai penyembah akal, ahlul
hawa dan ahlul bid’ah. Oke, no problem, terserah mereka apa yang ingin
dikatakannya.
Kembali
ke tema awal, adakah yang salah dengan seruan mereka kembali ke Al Qur’an dan As
Sunnah ini?
Sepintas memang sepertinya anda melihat tidak ada yang salah tetapi bahkan yang
tampak bagi anda dari seruan ini adalah kebenaran belaka. Namun sebelum anda bisa melihat
kekeliruan dari seruan yang asal-asalan ini mari kita pertanyakan
kepada mereka hal-hal berikut:
1)
Yang menyerukan itu orangnya sudah hafal Al Quran 30 juz atau belum, dan
sudahkah mereka menguasai Ulumul Qur’an dan ilmu-ilmu tafsir Al Qur’an?
2)
Bagi mereka itu perlu ditanyakan sudah berapa ribu hadits yang dihafalnya dan
sudahkah ilmu-ilmu Mustholah hadits dikuasainya?
3)
Dalam sehari semalam mereka mampu berapa juz yang dibaca dari Al Quran?
4)
Masih ada banyak pertanyaan perlu diajukan tetapi tiga saja dulu bagaimana
mereka mampu menjawab dengan jujur?
Pertanyaan
diatas adalah konsekwensi logis dari arogansi dakwah Salafi-Wahabi yang ingin
memunculkan citra bahwa Ummat Islam sudah keluar dari bingkai al Qur’an dan As Sunnah
dan Salafi-Wahabi mencitrakan dirinya sebagai satu-satunya pengikut Al
Qur’an dan as Sunnah. Okelah tak mengapa, no problem. Akan tetapi,
kalau mereka berani mengajak kembali ke Al Qur’an dan As Sunnah, maka mereka
harus mengetahui dari mana memulainya dan kemana tujuannya. Kalau tidak tahu
apa-apa, lantas bagaimana bisa diikuti?
Apalagi
jika yang menyerukan itu tergolong orang-orang awam yang masih pemula dan baru
belajar baca Al qur’an berani-beraninya berseru demikian yang sering diikuti
sikap arogans.
Tidakkah mereka sadar apabila mengajak-ajak kembali kepada Al Qur’an dan As
Sunnah, sekurang-kurangnya mereka harus ahli tentang Ulumul Qur’an dan Ulumul
Sunnah. Atau paling tidak mestinya mereka hafal 30 Juz Al Qur’an dan
beberapa ribu hadits-hadits shahih, hadits hasan dan hadits-hadit dhoif atau
bahkan yang maudhu’ atau palsu.
Kenapa
mesti begitu, ya karena para Imam Mujtahid Mutlaq semisal Imam Ahmad itu hafal
satu juta hadits beserta sanadnya, hafal Al Qur’an 30 juz dan mengetahui maksud
dan tafsirnya. Demikian juga kurang lebihnya para Imam-imam yang lain semisal
Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Bahkan demikian para penerus
mereka semisal Imam Ibnu Hajar Al Atsqalani, Imam Nawawi, Imam As Suyuti, Imam
al Ghozali dan masih terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.
*****
Rasanya
tidak salah kalau kaum Wahabi or Salafi mulai berani kritis terhadapa dirinya
sendiri.
Bagaimana mau mengajak-ajak kembali ke Al Qur’an dan als sunnah kalau
ternyata bukan ahlinya? Kebanyakan mereka yang petantang-petenteng di facebook
atau di blog-blog mereka, memberi i’rab pada susunan kalimat bahasa Arab saja
nggak bisa, balaghah nggak mudeng, usul tafsir Al qur’an dan asbabul wurud
hadits juga nggak faham, apalagi yang baru belajar tajwid makharijul huruf dan
tahsin qiraat belum bener, bagaimana mereka berseru mengajak-ajak kembali ke al
Qur’an dan als Sunnah? Kalau
orang yang mengajak-ajak itu tidak kapable secara nyata seperti yang disebutkan
di atas maka sangat pantas jika dikatakan mereka adalah orang-orang pendusta. Jadi
dengan demikian tidakkah seharusnya kaum Salafi-Wahabi kritis terhadap diri
mereka sendiri agar Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan hidayah-NYA?
Sebelum
ditutup pembahasan masalah ini, sebaiknya kita hayati ayat Qur’an berikut ini
agar ke depan bisa lebih kritis terhadap diri sendiri, semoga bisa
terhindar dari sikap arogansi dakwah Salafy Wahabi yang selalu ucapan-ucapan
mereka menimbulkan fitnah di tengah-tengah kaum muslimin.
يا أيها الذين آمنوا لم تقولون ما لا تفعلون. كبر مقتا عند الله أن تقولوا مالا تفعلون
Mayoritas
ulama tafsir mengatakan ayat ini umum, bukan khusus pada sebab nuzulnya. Dan perlu
diketahui bahwa ayat ini ada sebab nuzulnya, insyaallah nanti akan kita
ketengahkan secara singkat di sini.
Imam
Thobari rahmatullah ‘alaih memberi makna ayat tersebut begini :
“Wahai
orang-orang yang beriman, dan membenarkan Allah dan rasul-NYA, kenapa antum
mengatakan suatu perkataan yang kalian tidak bisa mengamalkannya secara benar, lalu
amal-mal antum tidak sesuai dengan pengakuan kalian? Sangat besar murka
Tuhan kamu dangan perkataan yang kalian katakan tadi, padahal kamu tidak
sanggup mengerjakannya.”
Di
antara asbabun nuzulnya ayat ini adalah mencela sebagian sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, yang mana mereka berbangga dengan kata-kata manis di
tengah umum,
dimana mereka mengaku-ngaku dengan perkataan mereka, bahwa mereka telah
mengerjakan amal baik paling banyak, paling sesuai ajaran Nabi (nyunnah), paling benar sesuai ajaran al
Qur’an, paling banyak berinteraksi dengan Qur’an, padahal mereka tidak
mengerjakan nya alias “omdo” (omong doang). Dan kelakuan
seperti ini banyak dilakukan oleh para pengikut Wahabi or Salafy, tidakkah
sebaiknya mereka mulai sekarang dan seterusnya berani kritis atas diri mereka
sendiri? Tidakkah sebaiknya mereka perlu berpikir panjang sebelum mengatakan
amal-amal shalih kaum muslimin sebagai amalan bid’ah yang menurut mereka sesat
yang bisa mengantarkan muslimin ke neraka?
Sedangkan
Imam syafi’i rahmatullah ‘alaih berpendapat dengan ayat ini sebagai
dasar hukum wajibnya melaksanakan nazar dan janji yang bagus. Imam Syafi’i rahmatullah
‘alaih adalah ahli hukum Islam, maka lihatlah betapa tepat apa yang
menjadi pendapatnya. Ini karena beliau amat sangat kapable, sehingga kaum
muslimin yang terdiri dari para Ulama sedari dulu sampai hari ini menobatkannya
sebagai Mujtahid Mutlaq.
Oleh
karena itu berkaitan dengan seruan kembali ke Al; Qur’an dan As Sunnah oleh
kaum Salafi-Wahabi, baik mereka yang awam atau para ulamanya sebaiknya
menimbang kapabilitas mereka sendiri. Bandingkan dengan para Imam
Mujtahid, adakah ilmu-ilmu yang mereka kuasai ada “seujung kuku”-nya para Imam
Mujtahid semisal Imam Syafi’i? Para
Imam Mujtahid yang sedemikian sempurna penguasaan ilmunya begitu tawadhu tanpa
koar-koar kembali ke Al Qur’an dan As Sunnah, padahal mereka tentu saja lebih
sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah dibanding kaum Wahabi or Salafi. Wallahu
a’lam.
Oleh
Qodrat Arispati
Kesimpulan:
Seruan
kembali ke Al Qur’an dan As Sunnah itu sungguh tidak pantas diserukan oleh kaum
awam dan untuk kaum awam, sebab sudah pasti mereka tidak akan mampu menggalinya
sendiri.
Mereka sangat jauh dari persyaratan keilmuan yang harus dikuasainya terlebih
dulu sebelum menggali sendiri apa-apa yang tersembunyi di balik ayat-ayat
Qur’an dan Hadits. Jika
mereka memaksakan diri berkoar-koar menyeru kembali ke al Qur’an dan Sunnah
efeknya sungguh sangat merugikan ummat Islam sebab hanya fitnah-fitnah yang
akan muncul dari mulut-mulut mereka.
kalau gak kembali kepada alquran dan assunnah lalu kembali kemana aga islam ini mas broo
BalasHapus