SALAFI WAHHABI MENYEBARKAN HADITS PALSU
SKANDAL PENYEBARAN HADITS DHA’IF
DAN RIWAYAT PALSU
DI KALANGAN ULAMA SALAFI WAHHABI
SELAMA INI AHLUSSUNNAH
WAL-JAMA’AH SELALU DIPOJOKKANOLEH KAUM SALAFI WAHHABI, KARENA DIANGGAP PENGAMAL
HADITS DHA’IF. PADAHAL DIAM-DIAM KAUM SALAFI WAHHABI JUGA MENYEBARKAN RIWAYAT
PALSU SELAMA MENDUKUNG AJARAN SALAFI WAHHABI. BERIKUT DIALOGNYA.
SUNNI: “Mengapa Anda selalu membuat fitnah,menebarkan
permusuhan dan kebencian dengan mebid’ahkan ajaran kami AhlussunnahWal-Jama’ah
yang sudah mengakar sejak masa-masa silam, bahkan sebagian mengakar sejak masa salaf dan ahli hadits? Dan semua ajaran kami memiliki landasan
darial-Qur’an dan hadits.”
SALAFI WAHHABI: “Ajaran yang kalian amalkan selalu menggunakan hadits-hadits lemah
dan palsu.”
SUNNI: “Ajaran yang mana yang menggunakan haditspalsu
dan lemah??? Justru kaum Anda sendiri yang terjebak dalam kesalahan dalam menolak peran hadits dha’if secara total. Salah karena keluar dari manhaj
ahli hadits dan salah karena menyalahi ulama Anda sendiri.”
SALAFI WAHHABI: “Lho, kok bisa kami dikatakan keluar darimanhaj
ahli hadits dan menyalahi ulama kami sendiri? Bukankah yang berjuangmenolak
hadits dha’if itu ulama kami?”
SUNNI: “Lho, itu kan Anda berarti hanya taklid
butakepada ustadz-ustadz Anda. Harus Anda ketahui, bahwa yang menolak peran
hadits dha’if di kalangan Anda, itu SALAFI WAHHABI beberapa tahun
kemarin, pengikut Syaikh al-Albani dari Yordania. Sementara ulama SALAFI
WAHHABI sebelum Anda juga banyakmenyebarkan hadits dha’if, sebagaimana yang
dilakukan oleh ahli hadits.”
SALAFI WAHHABI: “Lho, maka buktinya bahwa sebelum
Syaikhal-Albani, ulama kami yang kalian sebut SALAFI
WAHHABI menerima dan menyebarkan hadits dha’if?”
SUNNI: “Anda ini lucu, ngakunya pengagum al-Albani, tapi tidak pernah mengerti kitab-kitab tulisan al-Albani sendiri. Coba Anda
lihat, Ibnu Taimiyah menulis kitab berjudul al-Kalim al-Thayyib, yang isinya
membolehkan tawasul, istighatsah dan jualan jimat. Lalu kitab tersebut di-ikhtishar
oleh al-Albani, menjadi Shahih al-Kalim al-Thayyib, dengan membuang 59 hadits
dari total 252, yang dianggap dha’if oleh al-Albani. Ini kan cukup membuktikan bahwa Ibnu Taimiyah tidak alergi hadits dha’if. Belum
lagi Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi al-Qarni, menulis kitab al-Tauhid,
sebagian hadits nya juga dha’if sebagaimana diakui oleh kaum SALAFI WAHHABI
sendiri. Ini buktibahwa pendiri SALAFI WAHHABI juga tidak alergi hadits
dha’if. Kenapa kalian alergi hadits dha’if??
Kalian tahu, bahwa ulama kalian,
yang sok antihadits dha’if, diam-diam juga menyebarkan akidah palsu dan riwayat
dusta??”
SALAFI WAHHABI: “Ah, Anda keterlaluan, menuduh ulama kami sebagai penyebar akidah palsu dan riwayat dusta.
Mana buktinya??? Anda jangan asal ngomong. Berdosa lho, bohong itu.”
SUNNI: “Di antara riwayat palsu yang disebarluaskan oleh ulama Anda adalah akidah yang dinisbatkan kepada al-Imam al-Syafi’i. Ketika jamaah haji pulang dari Tanah Suci, mereka diberi hadiah kitab
Akidah Imam Empat, karya al-Khumayyis, terjemahan dari kitab I’tiqad
al-Aimmahal-Arba’ah, oleh Ali Mustafa Ya’qub. Di dalamnya ada akidah yang
dinisbatkan kepada Imam al-Syafi’i, bahwa beliau berkata:
“Berbicara tentang Sunnah yang
menjadi pegangan saya, shahib-shahib saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan
saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu
diatas ‘arsy di langit, dan dekat dengan mahkluk-Nya terserah kehendak Allah,
dan Allah itu turun ke langit terdekat kapan Allah berkehendak.” (Al-Khumayyis,
Akidah Imam Empat, hal. 68.).
Akidah al-Imam al-Syafi’i
tersebut telah disebarluaskan oleh kaum SALAFI WAHHABI dan
pendahulu-pendahulu mereka seperti Ibnu Taimiyah dalam al-Washiyyah al-Kubra,
Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima’ al-Juyusyal-Islamiyyah, al-Albani dalam Mukhtashar
al-‘Uluw, dan al-Khumayyis dalambukunya Akidah Imam Empat.
SALAFI WAHHABI: “Apa alasan Anda mengatakan akidah tersebut palsu???”
SUNNI: “Para ulama ahli hadits telah menjelaskan bahwa akidah al-Imam al-Syafi’i yang disebarluaskan oleh kaum SALAFI
WAHHABI adalah palsu. Akidah tersebut
diriwayatkan melalui perawi yang bermasalah, yaitu Abu al-Hasan al-Hakkari, seorang
perawi yang tidak dapat dipercaya dan pemalsuhadits. Al-Dzahabi berkata:
وَقَالَ ابْنُ
عَسَاكِرَ: لَمْ يَكُنْ مُوَثَّقًا فِيْ رِوَايَتِهِ.
“Ibnu Asakir berkata: “Al-Hakkari
tidak dapat dipercaya dalam riwayatnya.” (Ibnu al-Najjar, Dzail Tarikh Baghdad, juz 3,
hal.174; Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz 19 hal. 68, dan Mizan
al-I’tidal,juz 3, hal. 112.)
Al-Hafizh Ibnu al-Najjar
al-Baghdadi berkata:
وَكَانَ
الْغَالِبُ عَلىَ حَدِيْثِهِ الْغَرَائِبَ وَالْمُنْكَرَاتِ وَلَمْيَكُنْ
حَدِيْثُهُ يُشْبِهُ حَدِيْثَ أَهْلِ الصِّدْقِ، وَفِيْ حَدِيْثِهِمُتُوْنٌ
مَوْضُوْعَةٌ مُرَكَّبَةٌ عَلىَ أَسَانِيْد َصَحِيْحَةٍ، وَرَأَيْتُبِخَطِّ بَعْضِ
أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ الْحَدِيْثَبِأَصْبِهَانَ، وَقَالَ
أَبُوْ نَصْرٍ الْيُوْنَارْتِيُّ: لَمْ يَرْضَهُ الشَّيْخُأَبُوْ بَكْرٍ بْنُ الْخَاضِبَةِ.
“Biasanya haditsnya al-Hakkari
adalah hadits-hadits yang aneh dan munkar. Haditsnya
tidak menyerupai haditsnya perawi yang jujur. Dalam haditsnya terdapat
matan-matan palsu yang disusun pada sanad-sanad yang shahih. Aku melihat tulisan sebagian ahli hadits, bahwa al-Hakkari telah memalsu hadits di Ashbihan. Abu Nashr al-Yunarti berkata: “Syaikh Abu Bakar
binal-Khadhibah tidak ridha terhadap al-Hakkari.” (Ibnu al-Najjar, Dzail TarikhBaghdad, juz 3, hal.
173; dan Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, juz 4, hal. 196.)
Sumber lain yang menjadi perawi
akidah al-Imamal-Syafi’i adalah Abu Thalib al-‘Asysyari, seorang perawi yang
jujur tetapi lugu sehingga buku-bukunya mudah disispi riwayat-riwayat palsu oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Al-Dzahabi dan Ibnu Hajar berkata:
مُحَمَّدُ بْنِ
عَلِيِّ بْنِ الْفَتْحِ أَبُوْ طَالِبٍ الْعَشَّارِيُّشَيْخٌ صَدُوْقٌ مَعْرُوْفٌ
لَكِنْ اَدْخَلُوْا عَلَيْهِ أَشْيَاءَ فَحَدَّثَبِهَا بِسَلاَمَةِ بَاطِنٍ
مِنْهَا حَدِيْثٌ مَوْضُوْعٌ فِيْ فَضْلِ لَيْلَةِعَاشُوْرَاءَ وَمِنْهَا
عَقِيْدَةٌ لِلشَّافِعِيِّ.
“Muhammad bin Ali bin al-Fath Abu
Thalibal-‘Asysyari, seorang guru yang jujur dan dikenal. Akan tetapi
orang-orang memasukkan banyak hal (riwayat-riwayat palsu) kepadanya, lalu ia menceritakannya
dengan ketulusan hati, di antaranya hadits palsu tentang keutamaan malam
Asyura, dan di antaranya akidah al-Syafi’i.” (Al-Dzahabi, Mizanal-I’tidal, juz 3, hal. 656 dan
Ibnu Hajar, Lizan al-Mizan, juz 5 hal. 301.).
Pernyataan di al-Dzahabi dan Ibnu
Hajar di atas menyimpulkan bahwa Abu Thalib al-‘Asysyari pada dasarnya seorang perawi
yang jujur dan dikenal. Hanya saja orang-orang yang tidak bertanggungjawab menyisipkan
riwayat-riwayat palsu ke dalam buku-bukunya tanpa ia sadari, lalu ia
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain dengan ketulusan hati.
Paparan di atas menyimpulkan bahwa akidah al-Imamal-Syafi’i yang disebarluaskan oleh kaum SALAFI WAHHABI dan pendahulu mereka, adalah palsu dan diriwayatkan melalui perawi yang lemah dan pemalsu hadits atau melalui perawi jujur dan lugu yang tidak menyadari bahwa riwayatnya telah disisipi riwayat palsu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.”
Paparan di atas menyimpulkan bahwa akidah al-Imamal-Syafi’i yang disebarluaskan oleh kaum SALAFI WAHHABI dan pendahulu mereka, adalah palsu dan diriwayatkan melalui perawi yang lemah dan pemalsu hadits atau melalui perawi jujur dan lugu yang tidak menyadari bahwa riwayatnya telah disisipi riwayat palsu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.”
SALAFI WAHHABI: “Tapi walaupun palsu, akidah tersebut mendukung perjuangan ajaran SALAFI
WAHHABI. Gak papa walaupun palsu. Yang penting cocok. Lagi pula Cuma itu yang palsu.
Yang lain shahih kok.”
SUNNI: “Anda ini lucu, sok anti dan alergi hadits dha’if, tapi riwayat palsu disebarluaskan. Tidak hanya itu riwayat palsu
yang disebarkan oleh ulama Anda. Kaum SALAFI WAHHABI yang mengaku
pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, juga menyebarkan kitab palsu yang
dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, antara lain kitab Risalah
al-Ishthakhri dan kitab al-Radd‘ala al-Jahamiyyah. Kedua kitab ini
disebarluaskan oleh SALAFI WAHHABI dan diklaim sebagai karangan Ahmad
bin Hanbal. Padahal kitab tersebut bukan karangan Ahmad bin Hanbal, akan
tetapi karang sebagin kaum Mujassimah dan dinisbatkan kepada Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafizh al-Dzahabi berkata:
لاَ كَرِسَالَةِ
اْلاِصْطَخْرِيِّ، وَلاَ كَالرَّدِّ عَلىَالْجَهَمِيَّةِ الْمَوْضُوْعِ عَلىَ
أَبِيْ عَبْدِ اللهِ، فَإِنَّ الرَّجُلَ كَانَتَقِيًّا وَرِعًا لاَ يَتَفَوَّهُ
بِمِثْلِ ذَلِكَ
“Tidak seperti Risalah-nya
al-Ishthakhri, dan tidakseperti al-Radd ‘ala al-Jahamiyyah yang dipalsukan
kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal), karena beliau
seorang yang bertakwa, wara’ dan tidak berkataseperti itu.” (Al-Dzahabi, Siyar A’lam
al-Nubala’, juz 11, hal. 286.)
Pernyataan al-Dzahabi tersebut diperkuat oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Wazir al-Yamani, yang mengutip pernyataan al-Dzahabi tersebut bahwa kitab Risalah al-Ishthakhri dan al-Radd ‘alaal-Jahamiyyah adalah kitab palsu yang dinisbaTkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal. (Ibnu al-Wazir al-Yamani, al-‘Awashim wa al-Qawashim, juz 4, hal. 340-241) Kitab al-Radd ‘ala al-Jahamiyyah tersebut merupakan rujukan utama Syaikh Ibnu Taimiyah dalam menulis kitabnya Bayan Talbis al-Jahamiyyah, padahal isinya terdiri dari hadits-hadits palsu, lemah dan munkar.”.
Pernyataan al-Dzahabi tersebut diperkuat oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Wazir al-Yamani, yang mengutip pernyataan al-Dzahabi tersebut bahwa kitab Risalah al-Ishthakhri dan al-Radd ‘alaal-Jahamiyyah adalah kitab palsu yang dinisbaTkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal. (Ibnu al-Wazir al-Yamani, al-‘Awashim wa al-Qawashim, juz 4, hal. 340-241) Kitab al-Radd ‘ala al-Jahamiyyah tersebut merupakan rujukan utama Syaikh Ibnu Taimiyah dalam menulis kitabnya Bayan Talbis al-Jahamiyyah, padahal isinya terdiri dari hadits-hadits palsu, lemah dan munkar.”.
SALAFI WAHHABI: “Anda hanya menyebutkan tiga kitab palsu, yang kami sebarluaskan. Kan hanya
tiga kitab. Lagi pula gak papa pakai kitab palsu, yang penting isinya
mendukung perjuangan ajaran SALAFI WAHHABI.”
SUNNI: “Tidak hanya tiga kitab palsu yang disebarkan oleh ulama Anda. Syaikh al-Jumaizi dan Syaikh al-Raddadi, ulama SALAFI
WAHHABI dari Saudi juga menyebarkan kitab Syarh al-Sunnah, dan dinisbatkan kepada
al-Barbahari. Padahal dalam manuskrip yang menjadi satu-satunya sumber terbitnya
kitab Sayrh al-Sunnah tersebut, pada bagian awal disebutkan bahwa kitab Syarh
al-Sunnah tersebut adalah karya Ahmad bin Muhammad bin Ghalib al-Bahili, yang
populer dengan julukan Ghulam Khalil, wafat tahun 275 H. Halini juga diakui
oleh ketiga ulama Salafi-SALAFI WAHHABI tersebut ketika melakukan autentisifikasi
kitab tersebut kepada al-Barbahari. Dengan demikian, ketiga ulama SALAFI
WAHHABI tersebut sengaja menerbitkan kitab karya Ghulam Khalil dan menisbatkannya
kepada al-Barbahari, salah seorang ulama Hanabilah ekstrem yang berpaham
tajsim.”
SALAFI WAHHABI: “Maaf, walaupun al-Jumaizi dan al-Raddadi itu ulama SALAFI WAHHABI,
tapi mereka bukan guru kami. Dalam SALAFI WAHHABI, kami berguru kepada ulama Madinah, Dr. Ali bin
Nashir al-Faqihi, pakar hadits kaum kami yang Anda sebut SALAFI WAHHABI
di Universitas Islam Madinah. Kalau beliau dijamin OK, anti kitab lemah dan
palsu.”
SUNNI: “Guru Anda, Dr Ali bin Nashir al-Faqihi, juga
terlibat skandal yang sama, penyebar kitab tidak jelas sanadnya.
Al-Imamal-Daraquthni termasuk salah satu ulama ahli hadits terkemuka dan
bermadzhab al-Syafi’i. Al-Daraquthni adalah yang mengarahkan al-Hafizh Abu Dzar
al-Harawi untuk mengikuti madzhab al-Asy’ari. Pada tahun 1411 Hijriah, SALAFI
WAHHABI di Yordania menerbitkan kitab al-Ru’yah yang dinisbatkan kepada
al-Daraquthni. Beberapa tahun sebelumnya SALAFI WAHHABI Saudi Arabia
menerbitkan kitab al-Shifat, yang dinisbatkan kepada al-Daraquthni dan
di-tahqiq oleh Ali al-Faqihi. Kedua naskah tersebut diriwayatkan melalui jalur
Abu al-‘Izz bin Kadisy al-‘Ukbarawi dari Abu Thalib al-‘Asysyari.
Para ulama ahli hadits menilai Abu al-‘Izz bin Kadisy termasuk perawi yang tidak dapat dipercaya dan pendusta. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
Para ulama ahli hadits menilai Abu al-‘Izz bin Kadisy termasuk perawi yang tidak dapat dipercaya dan pendusta. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
أَحْمَدُ بْنُ
عُبَيْدِ اللهِ أَبُو الْعِزِّ بْنُ كَادِشٍ أَقَرَّبِوَضْعِ حَدِيْثٍ وَتَابَ
وَأَنَابَ انتهى قَالَ ابْنُ النَّجَّارِ: وَكَانَمُخَلِّطًا كَذَّابًا لاَ
يُحْتَجُّ بِمِثْلِهِ وَلِلأَئِمَّةِ فِيْهِ مَقَالٌوَقَالَ أَبُوْ سَعْدٍ ابْنُ
السَّمْعَانِيِّ كَانَ ابْنُ نَاصِرٍ سَيِّءَالْقَوْلِ فِيْهِ وَقَالَ ابْنُ
اْلأَنْمَاطِيِّ كَانَ مُخَلِّطًا وَقَالَ ابْنُ عَسَاكِرَقَالَ لِيْ أَبُو
الْعِزِّ بْنُ كَادِشٍ وَسَمِعَ رَجُلاً قَدْ وَضَعَ فِيْ حَقِّعَلِيٍّ حَدِيْثًا
وَوَضَعْتُ أَنَا فِيْ حَقِّ أَبِيْ بَكْرٍ حَدِيْثًا بِاللهِأَلَيْسَ فَعَلْتُ
جَيِّدًا. (الحافظ ابن حجر، لسان الميزان(.
“Ahmad bin Ubaidillah Abu al-‘Izz
bin Kadisy, mengaku memalsu hadits dan
bertaubat. Ibnu al-Najjar berkata: “Ia perawi yang membingungkan, pendusta, tidak
dapat dijadikan hujjah, dan para imam membicarakannya.” Abu Sa’ad bin al-Sam’ani berkata: “Ibnu Nashir berpendapat buruk tentang Ibnu
Kadisy”. Ibnu al-Anmathi berkata: “Ia perawi yang membingungkan”. Ibnu Asakir berkata: “Abu al-‘Izz bin Kadiys berkata kepadaku, ia mendengar
seseorang yang memalsu hadits tentang keutamaan Ali: “Aku juga memalsu hadits
tentang keutamaan Abu Bakar. Demi Allah, apakah aku tidak berbuat baik”. (Al-Hafizh Ibn Hajar, Lisan
al-Mizan (1/218).).
Demikian pandangan ulama ahli
hadits tentang Abu al-‘Izz bin Kadisy. Sedangkan
pernyataan al-Dzahabi bahwa Abu al-‘Izz bin Kadiys telah bertaubat dari memalsu
hadits, tidak menjadikan riwayatnya diterima. Al-Imam al-Nawawi berkata:
تُقْبَلُ
رِوَايَةُ التَّائِبِ مِنَ الْفِسْقِ إِلاَّ الْكَذِبَ فِيأَحَادِيْثِ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلاَ تُقْبَلُ رِوَايَةُالتَّائِبِ مِنْهُ أَبَدًا
وَإِنْ حَسُنَتْ طَرِيْقَتُهُ كَذَا قَالَهُ أَحْمَدُبْنُ حَنْبَلٍ وَ أَبُوْ
بَكْرٍ الْحُمَيْدِيُّ شَيْخُ الْبُخَارِيِّ وَ أَبُوْبَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ
الشَّافِعِيُّ.
)الحافظ السيوطي، تدريب الراوي(.
“Riwayatnya perawi yang bertaubat
dari kefasikan dapat diterima, kecuali berdusta
dalam hadits-hadits Rasulullah, maka riwayat perawi yang bertaubat dari
berdusta dalam hadits tersebut tidak dapat diterima, meskipun prilakunya telah baik. Demikian apa yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Humaidi –guru al-Bukhari-, dan Abu Bakar al-Shairafi al-Syafi’i”. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqribal-Nawawi
(1/329).
Sementara Abu Thalib al-‘Asysyari
juga perawi yang bermasalah, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Paparan di atas menyimpulkan,
bahwa kitab al-Ru’yah dan al-Shifat, yang dinisbatkan
kepada al-Daraquthni sangat meragukan, karena riwayatnya melalui perawi yang
memalsu hadits. Karena itu sebagian ulama menilai kitab tersebut palsu,
bukan karya al-Daraquthni sendiri.”
SALAFI WAHHABI: “Ya bagaimana lagi, untuk memperjuangkan kebenaran apa tidak boleh dengan
menyebarkan riwayat palsu???””
SUNNI: “Ya itu urusan Anda, yang sok anti dan alergi hadits dha’if, tapi diam-diam menyebarkan kitab palsu. Ulama Anda
juga menyebarkan kitab yang dipalsu kepada al-Imam al-Juwaini, al-Imam al-Nawawi
dan lain-lain. Itulah bukti bahwa ajaran Anda memang rapuh dan tidak kuat. Sok mendhaifkan dan memalsukan keyakinan dan amalan orang lain tapi
sebenarnya yang dhaif dan palsu adalah keyakinan dan amalan Salafi Wahhabi
sendiri” (Maling teriak
maling he..)
Wassalam
MUHAMMAD IDRUS RAMLI
MUHAMMAD IDRUS RAMLI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar