Allah subhanahu wa
ta’ala menjadikan kaum muslimin itu tidak hanya satu kelompok saja. Dalam
Islam terdapat banyak kelompok dimana antara satu kelompok dengan kelompok yang
lain saling bertentangan dan berbeda pendapat.
Sebelum Islam suku
Quraisy dipimpin oleh empat kelompok, yaitu Bani Hasyim, Bani Mutholib, Bani
Naufal dan Bani Abdi Syamsin. Keempat kelompok ini terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama kelompok yang ingin mengembalikan Izzul ‘Arab melalui Islam yaitu dengan
mempersiapkan kelahiran Nabi yang ditunggu-tunggu, mereka adalah Bani Hasyim
dan Bani Mutholib. Hal ini mereka ketahui melalui isyaroh Alloh SWT yang
diterima oleh Abdul Mutholib (kakek baginda Nabi sendiri) berupa digalinya
sumur zam-zam yang menjadi salah satu sumber kehidupan suku Quraisy dan
penduduk Makkah pada umumnya, karena sumur zam-zam tidak akan digali kecuali
pada zaman Nabi yang terakhir (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).
Adapun zam-zam yang ada pada masa Nabi Isma'il AS adalah mata air atau sendang
(danau) bukan sumur. Sebagai rasa terima kasih, bangsa Arab ingin mengangkat
Abdul Mutholib sebagai raja atau pemimpin sebagai penghormatan, tetapi beliau
menolak dan mengatakan: "Jadikan saja aku sebagai Syaikhu Makkah, yang
mana kalian tidak akan memutuskan suatu perkara apapun kecuali setelah kalian
meminta pendapatku terlebih dahulu".
Maka dibangunlah Darun Nadwah yang mana orang Arab tidak akan memutuskan
suatu masalah apapun kecuali di Darun Nadwah. Karena jasa besar Bani Hasyim dan
Bani Mutholib kepada Abdul Mutholib inilah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya: "Wahai Rosululloh bagaimanakah kami membaca sholawat
pada anda?", maka beliau menjawab: "Katakan:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد
Yang dimaksud dengan
kalimat (آل) pada hadist
diatas adalah Bani Hasyim dan Bani Mutholib. Tidak ada dalam satu ayat
al-Qur'an ataupun hadist yang menyinggung tentang shalawat pada sahabat, hanya
saja dalam al-Qur'an Alloh berfirman :
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : "Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar ". (QS. At-Taubah: 100)
Jadi untuk Sahabat bukanlah dengan solawat tapi Istirdho' yaitu ucapan رضي الله عنه. Ucapan ini juga diberikan para auliya', karena dalam ayat diatas disebutkan (وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ).
Kelompok kedua adalah
kelompok yang ingin mengembalikan izzul
‘Arab melalui ‘Aribah (kesukuan Arab), yang mana hal ini
bertentangan dengan Bani Hasyim dan Bani Mutholib. Tapi anehnya orang yang
merasakan bahwa Muhammad akan menjadi Nabi akhir zaman adalah Sayyidah Khodijah
Al-Kubro RA murid dari Waroqoh bin Nauval. Dalam Taurat yang dipelajarinya dari
Waroqoh bin Nauval ia meyakini bahwa Nabi akhir zaman itu harus pernah
menginjakkan kaki di gunung Sinai, karena antara satu Nabi dan yang lain itu
pasti ada kesinambungan sebagaimana itu tersiratkan pada permulaan surat At-Tin
yang berbunyi:
وَالتِّينِ
وَالزَّيْتُونِ ، وَطُورِ سِينِينَ ، وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ
Artinya : "Demi (buah) Tin dan
(buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman". (QS. At-Tin: 1-3)
Pada lafald (التِّين) Allah memberi isyarat pada Nabi Adam AS dan Nabi-Nabi setelahnya sampai Nabi Nuh AS, karena menurut pendapat yang mu'tamad, syajaroh yang mana Nabi Adam AS dilarang mendekatinya adalah syajaroh Tin. Sedang (وَالزَّيْتُونِ) memberi isyarat pada Nabi Nuh AS dan Nabi-Nabi setelahnya. Adapun ( وَطُورِ سِينِينَ ) yang berarti gunung Thur Sinai merupakan isyarat bagi Nabi Ibrahim AS sampai pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang juga diisyarahi dengan ( وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ) yaitu Makkah al-Mukarromah.
Sayyidah Khodijah
menunggu dan berharap-harap sampai ketika Nabi Muhammad berdagang untuknya ke
Syam (Syiria). Ia pun semakin yakin bahwa Muhammadl adalah Nabi akhir zaman
karena perjalanan menuju syam itu melewati gunung Sinai. Lalu ia pun melamar
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika ia sudah menjadi
istri Rosululloh ia masih menunggu. Tapi ketika umurnya mencapai 50 tahun dan
umur Rosululloh mencapai 35 tahun Khodijah sering kelihatan termenung karena
belum ada tanda-tanda beliau akan diangkat menjadi seorang Nabi. Hal ini diketahui
oleh Rosululloh, lalu beliau bertanya kepada Khodijah: "Ada apa gerangan
yang menjadikanmu kelihatan sering termenung wahai Khodijah? "
Khadijah menjawab:
"Tidak ada apa-apa wahai Muhammad. Aku hanya berpikir bahwa umurku sudah
50 tahun, sedangkan engkau masih 35 tahun. Dan diluar sana masih banyak
gadis-gadis cantik yang lebih menawan dariku". Ia menutupi apa sebenarnya
yang dipikirkan olehnya.
Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan tegas menjawab: "Tidak ada satupun diatas bumi ini dan
dibawah langit yang aku cintai kecuali engkau wahai Khodijah".
Alloh SWT menetapkan
bahwa ternyata orang yang yang dapat memahami ini semua adalah Sayyidah
Khodijah yang merupakan murid dari Waroqoh, sedang Waroqoh adalah putra dari
Naufal yang notabene bermusuhan dengan Bani Hasyim dan Bani Muthollib. Dari
sini bisa kita ambil pelajaran bahwa ilmu itu lebih unggul dari pada sekedar
cinta tanpa landasan ilmu, disamping juga memberikan pemahaman bagi kita bahwa
semua yang terjadi didunia ini memang murni kehendak Alloh SWT. Karena kalau hal
tersebut tidaklah murni kehendak- Nya, maka semestinya yang mengetahui hal
tersebut adalah dari Bani Hasyim dan Muthollib, karena merekalah orang-orang
yang mempersiapkan kelahiran Nabi yang ditunggu-tunggu.
Dalam setiap masa yang
dilalui oleh sebuah pemerintahan islam pasti ada hijau (Ahlus Sunnah) dan ada
yang biru (selain Ahlus Sunnah). Pada jaman Rasulullah ada Abdulloh Bin Ubay,
pemimpin kaum munafiq, yaitu orang-orang yang berusaha merongrong islam dari
dalam. Rosululloh tidak pernah memusuhi mereka, bahkan ketika Sayyidina Umar
ingin membunuhnya dan meminta ijin pada Rosululloh, beliau pun menjawab:
"Bagaimana jika nanti orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya
sendiri?"
Dalam setiap peperangan
beliau selalu mengajak kaum munafiq, baik dalam perang Badar ataupun perang
yang lain. Dan anehnya setiap peperangan yang diikuti oleh orang munafiq pasti
Alloh memberi kemenangan seperti pada perang Badar. Dalam perang ini sebenarnya
kaum muslimin tidak hanya berjumlah 313 orang, tapi lebih. Hanya saja tidak
ditulis dalam sejarah kerena selebihnya adalah orang munafiq. Sebaliknya jika
kaum munafiq tidak ikut dalam perang, seperti dalam perang Uhud maka kaum
muslimin kalah, walaupun kekalahan tersebut juga karena kaum muslimin sendiri.
Pada masa Khulafa'
ar-Rosyidun muncul golongan-golongan seperti Khawarij dan yang lain. Pada masa
Bani Umayyah ada kelompok yang tidak senang dengan Ahlul Bait. Daulah
Abbasiyyah sebagian pemimpinnya adalah kholifah yang berfaham Mu'tazilah.
Para Salafuna As-Soleh
tidak menghadapi perbedaan tersebut dengan kekerasan ataupun kebencian yang
berlebihan sampai melebihi kebenciannya kepada orang Kafir. Sikap ini
seharusnya juga kita praktekan pada masa sekarang. Kita sebagai orang muslim
yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama'ah harus tahu segala dan benar-benar
meyakini bahwasanya kebaikan (al-khoir) dan kejelekan (as-syarr) itu dari
Alloh, dalam arti setiap sesuatu pasti mempunyai dua sisi; kebaikan dan
kejelekan. Tidak bisa kita katakan murni baik dan tidak ada jeleknya, begitu
juga sebaliknya. Wallahu A'lam
Sumber :
https://www.facebook.com/note.php?note_id=133006877913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar