Minggu, 15 Mei 2016

19. TAUBATNYA IMAM TAQIYUDDIN IBNU TAIMIYYAH

Bismillah ar-Rahmaan ar-Rahiim.
Berikut ini riwayat taubatnya seorang ulama kontroversial, Ibnu Taimiyyah dari aqidah tajsimnya dan mengikuti kepada aqidah asy-’ariyyah. Banyak kontroversi atas cerita tentang taubatnya beliau. Ada sebagian golongan yang menganggap taubatnya hanya sebagai taqiyyah saja, dan ada juga sebagian golongan yang menganggap taubatnya adalah murni taubat dari aqidah sesat tajsim. Mari kita simak sebuah penelaahan dari kitab:  
د ررالالفاظ العاوالي فى الرد على الموجان والحوالي
Karya:
غيث بن عبدالله الغالبي 
MUKADDIMAH KE TIGA
Taubatnya Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah
Banyak tercantum di kitab-kitab yang cenderung melaporkan masalah aqidah atas perkataan-perkataan dan karangan-karangan yang dinisbatkan kepada Imam Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Sebagian dari mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya Imam besar ini telah bertaubat dari aqidahnya dan telah kembali kepada kebenaran. Saya disini akan menukilkan tanggal-sejarah itu berikut dengan teks nya yang saya salin dari kitab “Durarul Kaminah Fi A’yanil mi-ah Atsaaminah” karya amirul mukminin dalam hadis, yaitu Imam al hafidz Abu Fadl Ibnu Hajar Al Atsqolani terbitan 1414H cetakan Darul Jail-Juz 1 hal.148. Namun sebelum itu ada pemaparan Imam Nuwairi. Beliau adalah ulama yang hidup sejaman dengan Imam Ibnu Taimiyah dan pemaparan orang orang yang menyaksikan peristiwa pertaubatan tersebut. Imam Nuwairi mengatakan bahwa peristiwa pertaubatan Ibnu Taimiyah ini juga disaksikan oleh golongan yang menyimpang (pendukung Ibnu Taimiyah) atau golongan yang berseberangan dengan Ibnu Taimiyah. Ibnu Hajar berkata: ”Yang menyaksikan peristiwa pertaubatan ini terdiri dari aliansi ulama dan lain-lainnya”.
Imam Nuwairi berkata: ”Permasalahan Imam Taqiyuddin ini berkelanjutan hingga beliau dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah yang berada di benteng gunung hingga datanglah amir Hisamuddin ke pintu pemerintahan untuk melayani beliau pada bulan Rabi’ul awwal tahun 707 H. Hingga kemudian Hisamuddin menanyakan duduk permasalahan Ibnu Taimiyah ini kepada pemerintah yang berwajib dan akan menolongnya sehingga pemerintah memberi grasi kepada Ibnu Taimiyah dan akhirnya beliau bebas pada hari jum’at tanggal 23 bulan itu pula. Yaitu Rabi’ul awwal. Dan kemudian Ibnu Taimiyah di hadirkan ke gedung penuntutan (pengadilan) yang berada disitu (benteng gunung). Dan terjadilah pembahasan bersama para pakar ilmu kemudian berkumpullah golongan dari ulama yang terkemuka, namun acara tersebut tidak dihadiri oleh hakim ketua yaitu Zainuddin Al Maliky dikarenakan beliau sakit dan tak hadir pula dari para hakim yang lain. Namun hasil dari pembahasan tersebut Ibnu Taimiyah menulis kemudian ditulis oleh dewan majlis dengan tulisan yang terjamin dan di tanda tangani oleh para saksi.
BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM.
Kesaksian orang yang telah ikut membubuhkan tulisannya ketika telah ada stempel dari dewan majlis untuk Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah Al-Harani Al Hanbali ini dihadapkan kepada markas besar yang mulia amir adil Assaifi raja sultan Salar Al Maliky An Nashiri wakil dari sultan agung. Dan hadir pula didalamnya golongan dari para ulama dan pembesar pembesar ahli fatwa terdepan Mesir disebabkan apa yang pernah di nukil dari pemikiran Ibnu Taimiyah dan tulisan beliau yang sudah di ketahui sebelum itu yaitu masalah masalah yang berhubungan dengan akidah beliau seperti “Sesungguhnya Allah itu berbicara dengan suara”, dan “bahwa makna istiwa’ itu atas makna hakikat/dhohirnya dll yang bertentangan dengan ahli kebenaran”.
Akhirnya majlis itu selesai setelah pembahasan itu berjalan lama. Ibnu Taimiyah mengembalikan akidahnya itu kembali sehingga beliau berucap dihadapan para saksi “SAYA ASY’ARIYY” sambil mengangkat kitab faham asy’ariyah di atas kepalanya. Dan saya bersaksi atasnya dengan apa yang tertulis berikut ini:
“Segala puji milik Allah yang aku beri’tikad pada-Nya bahwa Al Qur’an berdiri diatas makna Dzat Allah. Dan itu sifat dari beberapa sifatNya yang qodim dan azali. Dan Ia bukan makhluk. Bukan dengan huruf dan bukan pula dengan suara”.
Ini di tulis oleh Ahmad Ibnu Taimiyah.
————————————————————
Demi Dzat yang aku beri’tikad kepadaNya dari firmanNya yang berbunyi:
الرحمن على العرش استوى
Itu di pahami seperti apa yang telah dipahami banyak orang, yaitu bukan seperti hakikat dan dhohirnya lafadz. Saya tidak tahu makna ganti dan maksudnya, bahkan tidak diketahui itu kecuali hanya Allah Ta’aala.
—————————————————————-
Ini ditulis oleh Ahmad Ibn Taimiyah.
Pendapatnya dalam masalah “turunnya” (Allah) itu juga sama seperti masalah “istiwa”. Aku katakan seperti apa yang aku katakan, yaitu “Saya tidak mengetahui makna ganti dan maksudnya, bahkan tidak akan diketahui kecuali Allah Ta’aala. Bukan atas hakikat dan dhohir lafadnya.”
——————————
—————————————————–
Ahmad Ibnu Taimiyah telah menulis ini.
Tulisan pengakuannya ini ia tulis pada hari minggu tanggal 25 Rabi’ul ‘Awwal tahun 707 H.
Dan inilah naskah/salinan apa yang telah ia tulis dengan tulisannya sendiri. Dan saya (Imam nuwairi) menjadi saksinya pula bahwa beliau bertaubat kepada Allah dari apa yang ia yakini selama ini (4 masalah). Dan dia (Ibnu Taimiyah) melafadzkan dua kalimah syahadat yang agung. Saya bersaksi atasnya dengan sukarela dan seleksi dalam masalah itu semua di benteng gunung yang terjaga dari gedung gedung mesir. Semoga Allah menjaganya. Amien.
Dengan sejarah hari minggu tanggal 25 robi’ul awwal tahun 707 yang di saksikan oleh golongan orang orang yang terkemuka yang patuh dan tunduk dan golongan yang menyimpang.
Aku keluarkan ini dan aku tetapkan di Kairo. (Selesai ucapan Imam an-Nuwairi).
———————————————————————-
Ini dari kitab “Nihayatul irbi fi fununil adab” milik Hakim Syihabuddin an-Nuwairy. Beliau wafat pada tahun 733 H. cetakan darul kutub mesir 1998M juz 32 hal.115-116.
———————————————————————-
Imam al-hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata: Ibnu Taimiyah masih tetap di penjara bawah tanah hingga ditolong/diberi grasi oleh amir Ali Fadl sehingga beliau akhirnya bebas di bulan Rabi’ul ‘Awwal tanggal 23 dan kemudian dihadapkan di sebuah benteng dan dilaksanakan pembahasan (dialog terbuka) bersama sebagian pakar fikih hingga akhirnya tercatat sebuah catatan pengakuan Ibnu Taimiyah bahwa dia berkata: ”Saya berpaham asy’ariyyah”.  Dan dijumpai pula tulisan beliau dengan teks sebagai berikut:
“Segala puji milik Allah yang aku beri’tikad pada-Nya bahwa Al Qur’an berdiri diatas makna Dzat Allah. Dan itu sifat dari beberapa sifatNya yang qodim dan ajali. Dan Ia bukan makhluk. Bukan dengan huruf dan bukan pula dengan suara”.
Sedangkan firman Allah yang berbunyi:
)الرحمن على العرش استوى(
ini bukan seperti dhohirnya lafadznya. Saya tidak tahu makna ganti dan maksudnya, bahkan tidak diketahui itu kecuali hanya Allah Ta’aala. Dan pendapatnya dalam masalah “turunnya” (Allah) itu juga sama seperti masalah “Istiwa’”. (bukan seperti dhohirnya dan tidak diketahui muradnya).
————————–————————–——
Ibnu Taimiyah telah menuliskan ini.
Kemudian para hadirin menyaksikannya bahwa dia bertaubat sebagai pilihannya dari apa yang ia yakini dulu dan itu terjadi pada tanggal 25 Rabi’ul Awwal tahun 707 H. Dan peristiwa itu di saksikan pula oleh sebagian besar dari ulama dan kalangan lainnya. Setelah kasus ini reda, akhirnya dirilislah (pengakuan taubat Ibnu Taimiyah ini) ke permukaan. Dan beliau tinggal di Kairo.
Adapun selain Imam Ibnu Hajar dan Imam an-Nuwairi yang menuturkan tentang pertaubatan Ibnu Taimiyah ini terdiri dari ulama dan para pakar sejarah, yaitu:
1.  ابن المعلم  ( w.725) فى نجم المعتدى  Salinan Paris nomor 638
2. الدواداى  (w.736) فى كنزالدرر- الجامع  239
3.  ابن تغري بردي الحنفى
(w.874) فى المنهل الصافى- الجامع  576
Yang ke semua ini isinya sama seperti penuturannya Ibnu Hajar. Dan juga telah dinukil pula di kitab :
النجوم الزاهرة الجامع  580
SITUASI ORANG ORANG KARENA PERTAUBATAN IBNU TAIMIYAH:
Seluruh ulama sepakat atas kebenaran peristiwa pertaubatan Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah ini. Namun setelah itu terjadi perselisihan tentang sikap Ibnu Taimiyah tersebut, sebagian dari mereka menganggap ia jujur dengan taubatnya dan sebagiannya menganggap murni permainan kata-kata/kamuflase atau taqiyah (kepura-puraan agar segera dibebaskan).
Sikap orang-orang ada dua kelompok:
Pertama: Kubu yang membenarkan hal itu dan menaruh simpati kepada Ibnu Taimiyah, karena telah membawa kaum muslimin keluar menuju yang terbaik dan mendorong kepada kaum muslimin yang lain, oleh karena itu banyak ulama yang membelanya (taubat) dan menentang siapa saja yang menuduh dia bid’ah. (karena taubat).
Kedua: Kubu yang berasumsi bahwa pertaubatannya itu tidak benar/tidak terbukti. Kubu ini ada dua versi, yaitu:
PIHAK PERTAMA MENGATAKAN: ”Orang orang telah memaksa Ibnu Taimiyah telah berbuat bid’ah dan memaksa keluar dari aqidahnya ahli kebenaran seperti yang telah ditegaskan dalam kitab-kitab beliau. Dan atau seperti yang sudah banyak dinukil oleh para pengikut fanatiknya bahwa beliau ditetapkan dibanyak kitab bahwa beliau meninggal dunia di penjara.”
Adapun ucapan mereka yang menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah menghembuskan nafas terakhirnya di penjara, JAWABANNYA ADALAH: ”Memang benar, namun itu dalam tahanan yang terakhir, yaitu beliau dimasukkan ke penjara lagi karena tersandung masalah fiqhiyah dan furu’iyah, seperti masalah fatwa haramnya bagi orang yang bepergian untuk berziarah kemakam Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dan lain-lain. Jadi bukan masalah akidah yang telah ia taubati itu.
Mengenai tidak ditemukannya dalil penguat/pembenaran atas taubatnya beliau di kitab kitab beliau atau referensi valid dari beliau JAWABANNYA ADALAH:
1. Ibnu Taimiyah tidak mencetak semua kitab kitabnya. Sehingga dengan indikasi ini kami menguatkan.
2. Alasan lain bahwa kitab kitabnya yang telah tercetak terdapat banyak kekeliruan puluhan halaman seperti yang terjadi dalam kitab fatawanya terutama dari lembaran lembaran dan kalimatnya. Sebuah kesalahan jika kami menetapkan tidak adanya pencabutan Ibnu Taimiyah atas akidahnya atau tidak memungkinkannya kembalinya beliau kepada kebenaran.
3. Kitab kitab yang beredar kini dan fatwa fatwa yang di nisbatkan kepada beliau, itu semua di kumpulkan 5 abad/lebih setelah beliau wafat. Dan itu semata mata hanya salinan-salinan yang tidak jelas yang tak bisa membenarkan dan yang tak bisa menyanggah hal itu.
PIHAK KEDUA MENGATAKAN: ”Ini mengenai martabat sebuah akidah yang beliau taubati. Pihak ini mengatakan bahwa taubatnya Ibnu Taimiyah ini hanyalah permainan kata kata dan taqiyyah (menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati untuk menyelamatkan diri-pent) bukan yang lain. Dan inilah yang banyak di anut oleh pengikutnya hingga sekarang. Dan menurut mereka pula, ini tidak benar jika taubat dari keyakinannya di nisbatkan kepada sosok seorang Ibnu Taimiyah rahimahullah karena ia beri’tikad bahwa akidahnya-lah yang diatas kebenaran. Bagaimana pula dia menyerah/tidak berpegang teguh dalam pendiriannya sedangkan beliau adalah seorang pemimpin dan panutan dalam masalah kebenaran ini. Pihak ini berdalih seperti teguh dan sabarnya Imam Ahmad bin Hanbal [yang memilih tetap dipenjara-pent]. (tatkala disuruh mengakui bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk-pent) dan ulama ulama yang lain.”
[Penulis kitab berkata]
Adapun yang benar adalah yang menguatkan bahwa Ibnu Taimiyah telah bertaubat dari akidahnya, Segala puji milik Allah.
Tujuan saya dari semua ini adalah setiap bantahan dan sanggahannya mengenai pesan ini. Saya tidak bermaksud membahas secara personal seorang Ibnu Taimiyah, saya hanya bermaksud dengan apa yang telah disebutkan dalam kitab kitabnya, entah itu pendapat beliau disaat belum taubat (Allah bersemayam)  atau itu hanya ucapannya orang yang berbuat buat atas nama Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Sehingga kesimpulannya adalah: “Bantahan/sanggahan ini ditujukan pada pendapat/opini yang berkembang saat ini, bukan pada sang penutur/pengucap (Ibnu Taimiyah)  seperti yang ada sekarang ini.”
Semoga bermanfaat, sehingga menjadi khazanah ilmu pengetahuan anda semua…
Saya juga mohon maaf jika ada terjemahan yang kurang berkenan dalam hati anda.
Scan-scan tersebut diambil dari kitab:
د ررالالفاظ العاوالي فى الرد على الموجان والحوالي
Karya:
غيث بن عبدالله الغالبي
Adapun riwayat pertaubatan Ibnu Taimiyah ini ada tercantum dalam kitab:
الدررالكامنة فى اعيان المائة الثامنة
Karya ulama pakar hadits dan fikih abad ke-8, yaitu Ibnu Hajar Al-Asqolany.
Seperti yang tertera dalam scan pertama di atas.
Sanad riwayat ini kepada al-Imam ibn Hajar al-Asqalany adalah sebagai berikut:
ارويها عن الشيخ محمد أمين الهرري عن الشيخ محمد ياسين بن محمد عيسى الفادني عن السيد جعفر بن محمد الحداد, والسيد منصور بن عبدالحميد الفلمباني المكي, كلاهما عن والد الثاني السيد عبد الحميد بن محمود الفلمباني عن ابيه المعمر السيد محمود بن كنان الفلمباني عن المعمر الشيخ عبد الصمد بن عبد الرحمن الأشي الشهير بالفلمباني عن السيد عمادالدين يحي بن عمر مقبول الأهدل الزبيدى عن محمد بن عمر بن مبارك بحرق الحضرمي عن السيد أحمد بن حسين العدروس التريمي عن السيد محمد بن على خرد التريمي عن محمد بن عبد الرحمن الخاوي عن مؤلفها الحافظ أبي الفضل أحمد بن علي بن حجر العسقلاني

Demikian catatan dari sahabat Jundu Muhammad Kaheel, semoga bermanfaat.

Sabtu, 02 April 2016

18. BAHAYA TAKFIRI (MENGKAFIRKAN ORANG LAIN (1)

Takfiri Daesh (IS) Pakistan chief killed in IED explosion - Shiitenews ...PressTV-How Muslims can counter Takfirism?
A.  Takfir
Takfir berasal dari kata kufur sebagai antonim kata Islam. Kufur dipahami sebagai orang yang melihat dan menyaksikan kebenaran namun menutup kebenaran itu dengan perbuatan yang sebaliknya. Kafir adalah orang yang menginkari ketuhanan, tauhid dan risalah. Kata takfir berarti tindakan mengkafirkan orang Islam.
Istilah takfiriyah sudah muncul sejak awal Islam khususnya pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berkembang hingga saat ini. Penyakit takfiriyah adalah fenomena yang berpotensi melahirkan banyak dampak destruktif baik dalam kehidupan sosial, politik, dan akhlak. Penyakit ini dapat mematikan karakter, saling curiga, melemahkan kekuatan ummat Islam, dan merusak ukhuwah Islamiyah.
B.Tafsir Surah al-Nisa[4] : 94.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَىٰ إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ ۚ كَذَ‌ٰلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah Keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Tafsir Ibnu ‘Abbas:
kalian keluar/bepergian – pada medan perang – maka tabayyunlah, dan mencari kebenaran sehingga jelas bagi kamu siapa yang beriman dan siapa yang kafir – dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang  mengucapkan “salam” kepadamu – terhadap orang yang memperdengarkan kepadamu lâ ilâha illal lâh Muhammadun rasûlullâh, sambil mengucapkan salam – “anda bukan mukmin”, maka kamu membunuhnya – karena kalian mengharapkan harta ganimah/rampasan dari padanya – pahala yang banyak bagi orang yang meninggalkan membunuh seorang mukmin – maka demikianlah kalian menjamin keamanan kaum mukmin dari Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya melalui lâ ilâha illallâh – sebelum hijrah – maka Allah subhanahu wa ta’la memberi nikmat kepada kalian dengan berhijrah meninggalkan orang-orang kafir itu – maka teguhlah kalian dengan mencegah sehingga tidak membunuh seorang mukminpun – Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan, seperti membunuh dan selainnya.
“Orang mukmin jika kedaerah kafir untuk berperang maka wajib hati-hati dan teliti (tabayyun) jika menemui orang kafir, lebih-lebih jika yang ditemui itu mengucapkan salam ”Assalâmu ‘alaikum” maka orang tersebut dilarang menuduhnya “kafir,”sebagai alasan untuk membunuhnya, lebih-lebih jika sudah mengucapkan syahadat “lâ ilâha illallâh,Muhammadur Rasûlullâh“.
Allah subhanahu wa ta’la memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar mengadakan penelitian lebih dahulu sebelum membunuh seseorang yang dianggapnya musuh, agar jangan sampai membunuh seseorang yang telah menganut agama Islam. Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan hanya karena keinginan untuk memiliki harta bendanya. Allah subhanahu wa ta’la memperingatkan bahwa orang-orang mukmin tidak boleh berbuat demikian, sebab Dia telah menyediakan rahmat yang banyak bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mematuhi segala ketentuan-ketentuan-Nya.
Sesudah itu Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan pula kepada orang mukmin bahwa merekapun dahulunya, pada masa awal mereka memeluk agama Islam, menyembunyikan imannya. Tetapi mereka mengucapkan salam “Assalâmu ‘alaikum” bila berjumpa dengan orang-orang mukmin yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam. Dan hal itu mereka lakukan untuk memberitahukan bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, mereka mengharapkan keamanan diri, keluarga dan harta benda dari kaum muslimin yang telah masuk Islam lebih dahulu.
Apabila mereka dulunya telah berbuat demikian, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan keamanan yang mereka inginkan itu, maka sewajarnya pulalah mereka menghormati orang-orang yang berbuat semacam itu terhadap mereka, dan tidak tergesa-gesa menuduh seseorang sebagai musuh Islam, lalu membunuhnya, dan merampas harta bendanya.
Pada akhir ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan bahwa Dia senantiasa mengetahui segala perbuatan hamba-Nya dan Dia akan memberinya balasan yang setimpal, baik atau buruk.
C. Asbâb al-Nuzûl
1.  Bukhari, Tirmizi, Hakim dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbâs, katanya:
“Seorang laki-laki dari Bani Salim lewat didaerah para sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil menghalau kambingnya. Ia memberi salam kepada mereka, tetapi jawab mereka: “Ia memberi salam itu tidak lain hanyalah untuk melindungi dirinya terhadap kita. Mereka pun mendatanginya lalu membunuhnya, dan membawa kambing-kambingnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka turunlah ayat surah al-Nisa [4]: 94.
Bazzar mengungkapkan dari jalur lain dari Ibnu Abbâs, katanya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim suatu ekspedisi tentara yang didalamnya terdapat Miqdad. Ketika mereka sampai pada tempat yang dituju, mereka dapati orang-orangnya telah cerai-berai dan hanya tinggal seorang laki-laki dengan harta yang banyak. Kata laki-laki itu:“Asyhadu an lâ ilâha illallâh: Tetapi Miqdad tetap membunuhnya, maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:“Apa katamu nanti terhadap ucapan syahadatnya itu?” Maka turunlah ayat al-Nisa [4]: 94.”
Ahmad, Thabrani dan lain-lain mengungkapkan dari Abdullah bin Abu Hudud Al-Aslami, katanya:“Kami dikirim oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama satu rombongan kaum muslimin dimana didalamnya terdapat Abu Qatadah dan Mahlam bin Jastsamah. Kebetulan lewatlah dihadapan kami Amir bin Adhbath Al-Asyja’i lalu ia memberi salam kepada kami. Tetapi Mahlam menyerangnya lalu membunuhnya. Dan tatkala kami sampai di tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menceritakan peristiwa itu, maka turunlah pada kami surah al-Nisa 94.
Juga Ibnu Jarir mengetengahkan yang sama dengan itu dari hadis Ibnu Umar. Dan diriwayatkan oleh Tsa’labi dari jalur Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbâs bahwa nama orang yang terbunuh itu ialah Mirdas bin Nuhaik dari warga Fadak, dan bahwa nama si pembunuhnya itu ialah Usamah bin Zaid sedangkan nama pemimpin ekspedisi itu Ghalib bin Fudhalah al-Laitsi. Tatkala kaumnya telah kalah, tinggallah Mirdas seorang diri dan maksudnya hendak melindungi kambingnya ke sebuah bukit. Maka sewaktu berjumpa dengan kaum muslimin itu dibacanyalah lâ ilâha illallâh Muhammadun Rasûlullâh dan assalâmu`alaikum. Tetapi Usamah bin Zaid membunuhnya, dan ketika mereka telah kembali turunlah ayat di atas.
Ibnu Jarir mengetengahkan pula yang serupa dengan itu dari jalur Suda, sedangkan Abdun dari jalur Qatadah. Dan Ibnu Abu Hatim mengeluarkan dari jalur Ibnu Luhaiah dari Abu Zubair dari Jabir, katanya:“Ayat berikut ini surah al-Nisa [4]: 94, diturunkan mengenai Mirdas, dan ia adalah seorang syahid yang baik.” Ibnu Mandah mengetengahkan dari Juzin bin Hadrajan, katanya: “Saudara saya, Miqdad, berangkat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang utusan dari Yaman. Kebetulan ia berjumpa dengan utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berkata: “Saya ini seorang mukmin.” Tetapi mereka tak mau menerimanya, hingga membunuhnya. Berita itu sampai ke telinga saya, maka pergilah saya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka turunlah ayat surah al-Nisa [4]: 94. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi saya diat dari saudara saya itu.”
Ibnu Sirin mengungkapkan bahwa yang membunuh itu ialah Muhallim bin Jastsamah, dan yang terbunuh itu ialah ‘Amir bin Adhbath. Maka Nabi memanggilnya dan Muhallim bin Jastsamah hanya hidup tujuh hari sesudah membunuh,dia pun dikubur, tetapi bumi tidak mau menerimanya, kemudian dikubur pada kali yang kedua, tetapi bumi tetap tidak mau menerimanya, kemudian dikubur pada kali yang ketiga maka tanah tidak mau menerimanya juga, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya tanah itu pasti akan menerima orang yang lebih jahat dari dia (terbunuh itu)”.
Maka Hasan berkata: “Adapun tanah itu mencegah orang yang lebih jahat dari dia , tetapi nabi mewasiatkan agar tidak mengulang perbuatan Muhallim bin Jastsamah itu.”
Ibnu Majah meriwayatkan dari Imran bin Hushain, dia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus pasukan ke perkampungan orang-orang musyrik, maka terjadilah perang yang hebat. Kamudian kaum muslim menemui seorang yang sedang membawa kekayaan, terus mengucapkan syahadat dan menegaskan, bahwa aku seorang muslim, tetapi tetap saja dia dibunuh. Tatkala sampai kepada Nabi, dia mengadu:
“Ya Rasulullah, saya telah binasa”
“Apa yang engkau perbuat?”
Maka dia menjawab: “Dua kali membunuh orang yang sudah mengucapkan salam dan syahadat, karena aku anggap itu siasat saja”, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kenapa engkau tidak membelah perutnya, sehingga engkau mengetahui kandungan hatinya ?”
Maka berkatalah orang itu kepada Nabi:
“Kalau aku membelah perutnya apakah aku akan mengetahui apa kandungan hatinya ?”
Maka Nabi bersabda: “Tidak,maka engkau akan mengetahui apa yang engkau ucapkan dengannya, dan engkau tidak mengetahui apa yang ada dalam hatinya.”
Maka Nabi berdiam diri sampai pembunuh itu mati, dan bumi tidak mau menerimanya.
Dalam sebuah riwayat, pembunuh itu ialah Usamah bin Zaid dan yang terbunuh iru ialah Mirdas bin Nahik al-Ghathafani, terus Al-Fazari dari Bani Murrah, dari penduduk Fadak. Ibnu Kasim dari Malik berkata : ”Mirdas bin Nahik sudah masuk Islam pada malamnya dan telah menyampaikan kepada keluarganya, maka Nabi menyampaikan kepada Usamah agar bersumpah tidak akan membunuh lagi orang yang telah mengucapkan “lâ ilâha illallâh”. Riwayat lain, yang membunuh itu ialah Abu Qatadah, dan riwayat lain Abu Darda.
2. Adapun ayat: “Janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu” Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya)”,
Imam Bukhari menyatakan bahwa اَلسَّلَمُ وَالسَّلاَمُ, itu satu arti, sebagaimana diungkapkan oleh Allah pada surah al-Nahl [16]: 28 :
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ ۖ فَأَلْقَوُا السَّلَمَ مَا كُنَّا نَعْمَلُ مِن سُوءٍ ۚ بَلَىٰ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Yaitu orang-orang yang dimatikan oleh para Malaikat dalam keadaan berbuat zalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); “Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatanpun”. (Malaikat menjawab): “Ada, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang telah kamu kerjakan”.
3. Seorang muslim bila bertemu dengan orang yang sudah mengucapkan lâ ilâha illallâh, maka haram membunuhnya, sebagaimana hadis riwayat mutawatir Hakim:
“Aku perintahkan membunuh manusia sampai mereka berkata : lâ ilâha illallâh, dan jika mereka mengucapkan (lâ ilâha illallâh), maka terjagalah daripadaku darah-darah mereka,dan harta-harta benda mereka , kecuali dengan cara yang hak”.
4. Ayat ini dijadikan dalil, bahwa iman itu adalah perkataan dengan lâ ilâha illallâh, sebagaimana ditegaskan pada hadis riwayat Hakim diatas.
Muslim itu apabila ditanya didalam kubur, maka dia bersaksi dengan “asyhadu an lâ ilâha illallâh, wa anna Muhammadan rasûlullâh, maka itu yang dimaksud dengan surah Ibrahim [14]: 24 -Hr. Bukhari Muslim an Ashhab al-Sunan.
Itu menunjukkan, betapa syahadatain itu merupakan inti dan landasan keislaman seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.
Betapa besar dosa menuduh kafir terhadap orang yang sudah mengucapkan syahadat, sehingga:
1. Ketika meninggal, tanah kuburan tidak mau menerimanya.
2. Nabi memohonkan ampun kepada Allah dan membayarkan diat (denda/kifarat)
3. Nabi menyuruh bersumpah kepada sahabatnya untuk tidak mengulang perbuatan dosa besar itu.
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya menyatakan bahwa sebab ayat ini turun ialah:
Riwayat Bukhari dan Turmidzi dan Hakim serta yang lainnya bahwa Ibnu ‘Abbâs meriwayatkan : “Lewat seorang laki-laki dari Bani Sulaim disamping rombongan sahabat-sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dimana dia sedang memperdagangkan kambing, terus dia mengucapkan salam kepada mereka, maka para sahabat menduga, bahwa salamnya itu hanya karena takut, dan berlindung agar tidak diapa-apakan, maka mereka membunuhnya dan kambing-kambingnya disampaikan kepada Nabi, maka turunlah ayat ini (al-Nisa [4]: 94.)
Qs.Ibrahim [14]: 27:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan iman orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”.
Qs.Ibrahim [14]: 24: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baikseperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”,
Didalam Tafsir Mahâsin al-Takwîl, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi mengungkapkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang muslim apabila ditanya didalam kubur, dia bersaksi dengan syahadatain, maka itu yang dimaksud dengan ayat surah Ibrahim [14]: 27.
Ini menunjukkan, betapa syahadatain ini landasan seorang muslim untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan hal ini jadi dalil, haramnya mengkafirkan seorang muslim.
D. Perpecahan ummat Islam.
Kalau kita amati situasi dan kondisi ummat Islam sekarang ini, maka kita akan melihat perbedaan dan sudah mengarah kepada perpecahan yang sumbernya:
Pertama: Perpecahan dalam bidang pemikiran.
Perkembangan ilmu, teknologi serta pemikiran Islam, telah melahirkan isu fundamentalis dan liberal, sehingga di Indonesia muncul istilah JIL (Jamaah Islam Liberal). Sejalan dengan perkembangannya, muncul pula istilah yang dinamakan Islam Fundamentalis, yang melahirkan istilah yang diberikan nama oleh mereka, al-Qaidah, bahkan sering muncul dengan istilah Teroris.
Kedua: Perpecahan dalam bidang Ushuluddin, I.Tauhid, I.Kalam, Ilmu Aqaid.
Perbedaan yang menyolok antara Jabariyah dan Qadariyah, antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, antara Sunni dan Syiah. Dalam bidang Ushuluddin ini juga telah melahirkan issue Wihdatul Wujud, muncul dari bidang filsafat, menimbulkan aliran Tashawuf dalam Islam, yang melahirkan 200 Tarekat Mu’tabarah diseluruh dunia, sedang sebagian menuduhnya sesat dan bid’ah.
Ketiga: Perpecahan dalam bidang Politik.
Isu klasik yang tidak habis-habisnya ialah perpecahan dalam bidang ini, apakah kepemimpinan Islam itu Imamah atau Khilafah ? Disinilah sumber perpecahan Sunni-Syiah, yang telah menelan korban nyawa manusia sejak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai saat ini, dan sekaligus dijadikan alat yang ampuh oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin.
Keempat: Perpecahan dalam bidang fikhi.
Perpecahan dalam bidang fikhi ini adalah juga masalah klasik yang tidak habis-habisnya muncul ditengah masyarakat, terutama dikalangan orang awam.
Kelima : Perpecahan dalam bidang akhlak.
Disinilah sumber kehancuran ummat Islam, karena nilai-nilai moral dan akhlak telah hancur, walaupun mereka ahli shalat, puasa dan haji. Da’wah kesana kemari, bukan mengajarkan dan menyebarkan al-Quran, bukan pendidikan akidah, ibadah dan akhlak, tetapi yang ditaburkan dan disebarkan adalah fitnah, kebohongan dan provokasi. Yang disebarkan bukan keshalehan sosial, bukan peningkatan nilai-nilai ibadah, tetapi menaburkan bibit-bibit perpecahan ditengah masyarakat dengan penuh kebohongan.
Mengamati fenomena ini, maka takfiri, yaitu mengkafirkan orang lain tanpa tabayyun, hanya karena fanatik mazhab, atau karena ilmu dan wawasan yang sempit, atau jadi alat Kaum Zionis, maka bahayanya luar biasa:
I.  Perpecahan ummat yang dapat mengarah kepada perang, sebagaimana yang terjadi di dunia Islam saat ini.
II. Hancurnya silaturrahim.
III. Terbukanya kesempatan bagi musuh Islam, masuk dan mengadu domba ummat Islam, sehingga mereka cukup bertepuk tangan, dan kaum muslimin menjadi lemah atau hancur.
IV. Bakal muncul intelektual dan tenaga-tenaga potensial dan professional yang gagal dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat untuk kepentingan umum oleh gelombang stigma kafir dan sesat yang membuat mereka terkucil dan ini merupakan program Zionis menghancurkan Islam.
V. Kaum awam menjadi bingung dan bisa mengarah kepada meninggalkan Islam yang diliputi provokasi, intimidasi, caci-mencaci, sesat-menyesatkan, bid’ah-membid’ahkan, mencari-cari dan membuka aib sesame muslim.
Sejak Awal, aL-Qur ân Sudah Mengungkap Bahaya Aktor Perpecahan/Adu Domba.
1.    Qs.Ali ‘Imran [3]: 100-101:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ  وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ ۗوَمَن يَعْتَصِم بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman – Bagaimanakah kamu sampai menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada agama Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Ayat ini turun, mengungkapkan peran Syas bin Qais yang pura-pura masuk Islam, tetapi berusaha mengadu domba kaum muslimin, dan muncul sebagai Aktor Perpecahan.
Aktor Perpecahan dan adu domba akan muncul setiap tempat dan zaman.
2. Qs.al-Baqarah [2]: 109: 
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖفَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
3.    Qs.al-Baqarah [2]: 120: 
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu.Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
4.    Qs.al-Baqarah [2]: 217:
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَـٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“…mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”
5.    Qs.Ali ‘Imrân [3]: 69:
وَدَّت طَّائِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka sebenarnya tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.”
6.    Qs.Ali ‘Imrân [3]: 72:
وَقَالَت طَّائِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Segolongan lain dari ahli kitab berkata kepada sesamanya: “Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali kepada kekafiran”.
Mengamati ayat-ayat ini maka kaum muslim hendaknya:
1. Waspada dan hati-hati menghadapi Aktor Perpecahan dan adu domba dari pengaruh dan dana dari:
a. Zionis dan Imperialis.
b. Ulama-ulama Istana / Kerajaan.
c. Membendung dan waspada terhadap mass media berupa artikel, buku, tulisan, buku-buku dan tulisan-tulisan bohong yang 90% dikuasai Zionis Kapitalis dan Imperialis.
2. Memberikan wawasan yang luas tentang Islam, baik dalam akidah, fikhi, akhlak dan pemikiran Islam, terutama “Muqâranah al-Fiqhi”/ Perbandingan mazhab.
3. Memberikan wawasan tentang Islam yang universal, bahwa suku-suku dan bangsa-bangsa itu untuk saling kenal-mengenal, dan setiap muslim muncul sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, tidak fanatik suku dan bangsa.
E.  Al-Qur ân
Al-Qurân menjelaskan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang menyekutukan Allah (Qs.al-Nisa’ [4]: 116; orang kafir (Qsal-Nisa’ [4]: 136; orang murtad alias menjadi kafir setelah beriman (Qs. Ali ‘Imrân [3]: 90; orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah berikan kepada mereka semata-mata demi mendustakan Allah (Qs. al-An’am [6]:140; berputus asa dari rahmat Tuhannya Qs. al-Hijr [15]: 56; orang yang telah dikuasai oleh kejahatannya (Qs. al-Mu’minun [23]:106; mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, yaitu memilih yang lain dalam suatu perkara, padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan dalam perkara tersebut (Qs. al-Ahzab [33]: 36; orang kafir, yaitu orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat serta menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok (Qs.Ibrahim [14]: 2-3. Termasuk bagian dari kesesatan (al-dhalâlah) adalah perilaku berhukum kepada thaghut (Qs.al-Nisa’ [4]: 60, serta mengambil musuh Allah dan musuh kaum Muslim sebagai wali, karena rasa kasih sayang (Qs. Mumtahanah [60]: 28, dan sebagainya.
Berdasarkan semua itu, secara syar’i, al-dhalâl bisa didefinisikan sebagai penyimpangan dari Islam dan kufur terhadap Islam (inhirâf ’an al-islâm wa kufr bihi). Dengan demikian, semua bentuk penyimpangan dari Islam merupakan bagian dari kesesatan. Akan tetapi, tidak semua bentuk penyimpangan dari Islam itu menjadikan pelakunya bisa divonis kafir. Al-Qurân sendiri menjelaskan bahwa perbuatan berhukum pada hukum thâghût (hukum selain dari yang diturunkan oleh Allah) merupakan perbuatan kufur. Namun, tidak semua pelakunya divonis kafir, tetapi ada juga yang dinilai fasik atau zalim.
Penyimpangan dari Islam itu bisa berupa kesalahan, yaitu kekeliruan pemahanan dan praktik yang terkait dengan perkara syariah yang konsekuensinya adalah maksiat. Namun, penyimpangan bisa juga dalam bentuk kesalahan pemahaman yang terkait dengan perkara akidah atau syariah, tetapi diyakini kebenarannya, yaitu yang merupakan perkara qath’i atau bagian dari perkara yang ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah, yang konsekuensinya adalah kekufuran. Hal yang sama berlaku juga dalam hal pengingkaran.
Dengan demikian, penyimpangan dan pengingkaran yang berkonsekuensi penganut atau pelakunya bisa dinilai sesat adalah penyimpangan atau pengingkaran dalam perkara ushûl, bukan dalam perkara furu’. Perkara ushul adalah perkara yang berkaitan dengan akidah, sedang dalam bidang furu’ tidak termasuk dalam kafir akidah, tetapi kafir ‘amali.
Sebagai contoh, ketika tahun yang lalu mengunjungi Turki, maka saya memperoleh informasi bahwa penduduk Turki 99% muslim yang perinciaannya sebagai berikut :
1. 30 % yang shalatnya 5 kali sehari semalam.
2. 30 % yang shalatnya 1 kali sepekan hanya Jum’at saja.
3. 20 % yang shalatnya 2 kali setahun hanya ‘Idain ( ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adhha saja.
4. 19 % tidak pernah shalat kecuali ketika mati dishalatkan.
Dikalangan mazhab Hanafi, syahadat 1 kali seumur hidup, ketika meninggal wajib di shalatkan, karena mengingkari shalat itu hanya kafir ‘amali/amal, bukan kafir I’tiqadi /iktikad. Di Indonesia tidak akan jauh dari contoh di Turki.
F.  Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dalam hal ini MUI telah memberikan kriteria suatu paham atau aliran bisa dinilai sesat, yaitu apabila memenuhi salahsatu dari kriteria berikut:
1. Mengingkari salah satu dari Rukun Iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan Qadar; serta Rukun Islam yang 5 (lima), yakni: mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji.
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syariah (al-Qurân dan al-Sunnah)
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qurân.
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qurân.
5. Melakukan penafsiran al-Qurân yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan nadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardhu tidak 5 waktu.
10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya, atau hanya karena berbeda mazhab.
 G.  Petikan Deklarasi Perwakilan Ulama Sedunia di Amman Yordania (27 Ramadhan/9 Novenber 2004).
“Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah (Syafi’I, Hanafi, Maliki, Hanbali) dan mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadhi dan mazhab Zhahiri adalah MUSLIM. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut /penganut mazhab-mazhab yang disebut diatas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut /penganut mazhab-mazhab yang disebut diatas tidak boleh dihalalkan”.
H.  Pandangan para Ulama Terdahulu.
Kriteria-kriteria ini bukan hal baru. Para ulama sejak dulu telah membahasnya. Meski demikian, siapapun tidak boleh gampang mengatakan orang lain sesat. Penilaian sesat itu serupa dengan penilaian kafir. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa saja yang berkata kepada saudaranya (yang Muslim), “Hai kafir,” maka sungguh tuduhan itu berlaku kepada salah seorang dari keduanya, jika memang tuduhan itu benar; jika tidak, tuduhan itu kembali ke pihak penuduh” – Hr. Bukhari, Muslim dan Ahmad.
Justifikasi sesat itu harus dilakukan melalui proses pembuktian (tabayyun). Jika sudah terbukti sesat dengan bukti-bukti yang meyakinkan, maka harus dikatakan sesat, seperti Ahmadiyah. Kemudian penganutnya didakwahi agar bertobat dan kembali pada yang haq, yaitu Islam.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

KH. Drs. Muchtar Adam